Sabtu, 14 Januari 2012

STRESS DAN KELUARGA (SEBUAH PERJUMPAAN DAN SEKALIGUS PERPISAHAN)

Pendahuluan
Keluarga merupakan wadah dimana laki-laki dan perempuan dipersatukan dalam ikatan yang dibangun berdasarkan perjanjian. Dalam gagasan ini terkandung makna bahwa ikatan dalam sebuah keluarga senantiasa diperhadapkan dengan tujuan menghadirkan damai sejahtera. Relasi antara suami-istri dan anak-anak merupakan relasi yang bersifat misteri sebagaimana relasi antara Yesus Kristus dan Jemaat (band. Ef. 5 : 22 - 33 ). Sehingga menghadirkan damai sejahtera dalam keluarga senantiasa dipengaruhi oleh hubungan yang diwarnai misteri.
Warna misteri itu menjadi nyata ketika relasi yang dibangun bertolak dari dialog yang berdimensi vertical dan horizontal. Disinilah komunitas (com : dengan, unitas : bersatu) menjadi bagian dari keluarga yang tidak terpisahkan. Disini juga diwujudkan tangga spiral (the spiral staircase) dimana setiap anggota keluarga mampu keluar dari ‘ke-lokal-annya' dan menjadi terang yang membawa kehangatan.
Fakta menunjukkan bahwa dalam modernitas dengan mobilitas yang tinggi ( orang terus sibuk-bergerak ) dan anonimitas ( orang tidak lagi saling kenal ) terwujudlah roda otoriter yang mengusung nilai-nilai konsumerisme dan liberalisme. Nilai-nilai ini dibenci sekaligus dicintai karena karena memproduksi aktifitas yang membawa aroma penasaran dari kesadaran.
Stress adalah kenyataan yang berlangsung sejak lama seusia keberadaan manusia. Stress ( tekanan ) merupakan fakta yang juga dijumpai oleh setiap keluarga.Sebagai contoh, James Levine dan Todd Pittinsky mengemukakan bahwa 4 dari 5 wanita yang bekerja mengalami stress antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.[1] Tekanan ini tidak dapat dihindari tetap dihadapi dalam kearifan yang diterangi oleh kasih. Ikhtiar yang dibangun disini adalah keluarga : admiranda et amanda ( yang dikagumi sekaligus dicintai ).
Keluarga : Admiranda et Amanda
Memahami keluarga sebagai suatu kesatuan merupakan tantangan besar pada saat ini sebab dapat saja anggota kelaurga serumah tetapi tidak mengalami kesatuan. Kesatuan yang dimaksudkan bukanlah kesatuan secara angka tetapi lebih kepada kesatuan secara nilai. Maksudnya keluarga bukan persekutuan yang hanya bersifat administratif namun memiliki makna penting ketika ditempatkan sebagai umat yang diberkati ( kej. 1 : 27 ). Dalam konteks demikian maka beberapa hal penting yang perlu diperhatikan ialah :


a. Keluarga Kristen dan Perjanjian Allah.

Gagasan tentang hubungan keluarga Kristen dan perjanjian Allah bertolak dari pemahaman bahwa Allah adalah Allah perjanjian dan umat adalah umat perjanjian. ( Ulangan 7 : 9 ). Dalam relasi yang demikian maka keduanya terikat dalam suatu perjanjian yang memunculkan sikap menopang dan tidak mendominasi. Hal penting yang nampak dari perjanjian ini ialah bahwa Allah mengambil inisiatif dalam perjanjian ( Kej. 6 : 18, Kel 6 : 4 - 5 ), Allah menugaskan untuk memegang teguh perjanjian ( Ul. 7 : 9, 12 ; I Raja 8 : 23 ), perjanjian itu mencakup setiap generasi dan perjanjian itu diwarnai pengorbanan sebagai tanda. Suami - istri dalam perjanjian Allah senantiasa mengarah kemasa depan. Dalam konteks trnitas maka persekutuan suami-istri yang dikuasai janji ( vertikal - horisontal ) memahami perannya sebagai anak-anak Allah yang memiliki relasi istimewa dengan Bapa. Dalam relasi demikian maka perjanjian bukanlah sebuah hukum yang bersifat menekan melainkan kesepakatan yang diterima dengan suakcita. Relasi dalam kelurga bukanlah relasi atasan -bawahan tetapi sebuah persekutuan yang diwarnai ketaatan. Maleakhi 2 : 10 - 16 dapat mejadi contoh tentang bagaimana perjanjian harus tetap terjaga.[2]

b. keluarga Kristen dan Kerajaan Allah.

Tema tentang Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus merupakan pemberitaan tentang pemerintahan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa karya -Nya adalah karya yang terus berlangsung dan melibatkan keluarga untuk berpartisipasi didalamnya. Karena itu Ia menegaskan tentang perlunya mencari Kerajaan Allah ( Mat. 6 : 33). Dalam konteks keluarga hal ini hendak mengajak setiap suami-istri untuk memahami karya Allah ( band. Ungkapan Yesus tentang BapaKu bekerja sampai sekarang maka Aku bekerja juga di Yoh 5 : 17 ).

Ciri-ciri Kerajaan Allah yang berarti karya Allah ialah : Yesus memberi pendampingan dalam pergumulan, mereka yang tersingkir akan mengalami undangan memasuki persekutuan (pengampunan).[3] Dalam konteks yang demikian maka suami-istri mengalami dan sekaligus mewujudkan suasana kerajaan Allah sebagai keterlibatan atas undangan dan ajakan Yesus.




c. Keluarga Kristen dan masa depan.

Dalam dunia kapital dewasa ini sebagaimana dikemukakan oleh sosiolog Glenn Loury merupakan dunia yang dibangun dalam relasi / koneksi sehingga setiap bentuk kapital dapat meproduksi kapital yang lain.[4] Uang adalah kapital, intelektual adalah kapital. Dalam konteks keluarga dapat disebut sebagai keluarga kapital yakni keluarga yang mememiliki energi untuk memproduksi damai sejahtera.

Dalam pemahaman bahwa setiap keluarga diutus memberitakan perbuatan Allah yang besar ( I Petrus 2 : 9 ). Pada titik inilah karya Roh Kudus menghadirkan kuasa yang dapat menjadi energi bagi setiap keluarga ( Kis.P. R 1 : 8 ).Dengan pemahaman yang demikian nampak bahwa relasi yang terbangun senantiasa mengacu kepada masa depan dalam ketaatan yang ikhlas. Pelajaran untuk menjadi suami-istri yang baik belum selesai sampai pada waktu yang Tuhan sendiri tentukan.

Stress - Keluarga ( sebuah dialog pencerahan )

Stress yang secara harafiah berarti tekanan adalah akumulasi dari ketidakmampuan individu untuk memenuhi tuntutan dari diri dan lingkungan. Berdasarkan hal ini maka stress dapat memperlihatkan tingkat penyesuaian diri terhadap tuntutan yang bermuara pada 2 dampak yakni :

1. dampak positif - dimana stress memicu kreatifitas dan gagasan baru sehingga menjadi
kesadaran baru.
2. dampak negative - dimana stress mengakibatkan frustrasi, depresi yang mengkristal
pada tindakan destruktif.

Berdasarkan hal-hal diatas maka dapat dikemukakan bahwa keluarga yang mengalami stress ( tekanan ) adalah keluarga yang dinamis. Maksudnya ialah adanya kehendak untuk membangun keluarga yang admiranda et amanda dengan segera diperhadapkan pada realitas yang menantang. Disini stress ditempatkan sebagai lawan sekaligus kawan didalam upaya membangun pilar-pilar keluarga yang semakin kokoh.

Bagi setiap keluarga ( suami-istri ) diperlukan keberanian untuk dapat melihat faktor-faktor yang dapat menyebabkan stress. Faktor - faktor itu antara lain ialah:

1. peran dalam keluarga yang semakin cair
2. konflik dalam komunikasi
3. hilangnya gambaran sebagai panutan
4. nilai-nilai dalam masyarakat yang berubah
5. tingkat kompetisi yang semakin tinggi

Dengan mencermati berbagai faktor inilah maka setiap keluarga didorong utnuk terus mengalami pertumbuhan kedewasaan. Dalam masyarakat yang semakin tinggi tingkat mobiltas dan anonomitasnya maka setiap keluarga ditantang untuk senantiasa menjaga keseimbangan. Meminjam istilah Aristoteles bahwa virtus stat in medio ( keutamaan itu berada di tengah ) maka keutamaan itu tidak dipahami secara setengah-setengah namun dalam keutamaan yang bersifat dialogis.

Dalam keutamaan yang bersifat dialogis terwujud suatu keberanian untuk bersikap menghadapi tekanan tanpa kehilangan nilai-nilai kearifan yang mendukungnya.
Pada tataran inilah keluarga dapat menjadi keluarga yang dikagumi dan sekaligus dicintai karena didalamnya setiap individu berupaya mewujudkannya. Stress tidak perlu dicari-cari sebab secara alamiah ia akan mendatangi setiap keluarga sehingga yang diperlukan adalah keberanian untuk menghadapinya. Hal-hal yang perlu dikembangkan disini ialah :

a. kemauan untuk terus belajar melupakan ( rubber neck )
b. kemauan untuk terus membangun kebersamaan ( team )
c. kemauan untuk terus membangun talenta kearifan ( WTO )

Disini pengalaman Dom Helder Camara , Uskup Agung Brasil bisa mendapat tempat dihati kita, ketika ia katakana bahwa, " Tuhan bila salib menimpa kami dengan hebat, maka hancurlah kami, tapi bila Engkau datang bersama Salib- Engkau memeluk kami ".[5]

Pdt. Alex Letlora, S.Th., M.Min

_____________________
[1] Julianto Simanjuntak, Membangun Keluarga Hamba Tuhan, sebuah paper
[2] David Gushee, Getting Marriage Right, Baker Books, grand rapids, ( Michigan, 2004), P.134
[3] ibid, h. 176
[4] ibid, h. 180
[5] Kokoh Prihatanto, Mimbar, Altar dan Pasar, Lamalera, Bantul-Jogjakarta, 2007, h..97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar