Pendahuluan.
Gereja sebagai
sebuah lembaga dan komunitas orang percaya senantiasa berkomunikasi secara
dinamis dengan realitas yang terus berubah. Perubahan yang dijumpai oleh Gereja
menjadi ruang untuk menyatakan keberadaan Gereja sebagai paguyuban yang hidup
berdasarkan panggilan dan pengutusannya untuk mewartakan kabar sukacita secara
konsisten. Hal ini perlu menjadi dasar perhatian kita bersama ketika selaku
anggota majelis jemaat kita hendak menyusun sebuah program kerja. Dewasa ini keberadaan gereja sebagai
persekutuan orang percaya diperhadapkan dengan tantangan yang semakin beragam
kuantitas dan kualitasnya. Kenyataan ini menempatkan Gereja sebagai persekutuan yang harus memberi
jawaban kongkrit terhadap berbagai tantangan tersebut. Warga jemaat yang
bertemu langsung dengan kenyataan adalah subyek yang harus bergumul. Pergumulan
warga jemaat ini memerlukan kelengkapan-kelengkapan teologis yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Maksudnya tanpa teologi yang benar maka yang terjadi
adalah mengatasi persoalan dengan instan dan bertemu dengan persoalan baru.
Dalam konteks inilah diperlukan kehadiran program kerja yang
melengkapi warga jemaat untuk dapat berkomunikasi dengan realitas tanpa
menafikan identitas mereka sebagai orang percaya.
Bertolak dari
pemahaman di atas maka sebuah program kerja tidak hanya terdiri dari kegiatan
dan angka-angka tetapi memiliki dimensi lain yakni relasi vertikal yang menjadi
‘roh’ dari program kerja tersebut. Artinya perhatian sebuah program kerja bukan
hanya pada di hilir tetapi di hulu juga memberi pengaruh yang signifikan.
Sebuah program kerja menjadi desain utama dari pemahaman kita tentang karya dan
keterlibatan Allah melalui Yesus Kristus sebagai Primal Dimension . Melalui pemikiran yang demikian maka paper ini
tidak hanya berkisar di masalah praktis tetapi merupakan upaya praksis bagi
kita dalam memahami dan menghayati sebuah program kerja.
Untuk
hal tersebut kita akan memperhatikan beberapa faktor penting untuk mengemas
sebuah program kerja yang aktual, moderat dan visioner sehingga program kerja
senantiasa memberi ruang bagi terjadinya transformasi pembangunan jemaat. Dari paparan diatas maka perlu
dilaksanakan suatu pengembangan penyusunan
program kerja yang berbasis pada
konteks dalam mengantisipasi berbagai perubahan. Model yang memiliki determinasi teologi dan membuka
peluang seperti dikemukakan Robert Schuller:
Every achievement is a process not an
instamatic happening
Apa yang dikemukan oleh Schuller adalah titik awal
suatu proses aktualisasi program yang sistematis dan terarah kepada pengembangan kemampuan setiap individu
( baik presbiter maupun warga jemaat ).
I.
PROGRAM KERJA BERBASIS VISI - MISI.
Program kerja
merupakan upaya serius dari para presbiter yang hendak mensistematisir kegiatan
dalam jemaat agar idealisme yang berpijak pada kenyataan dapat diwujudkan
secara baik. Ketika visi – misi ditetapkan, hal tersebut memerlukan pendalaman
yang serius sebab ketika visi – misi hanya pada tataran wacana maka seluruh
upaya perwujudannya mengalami deviasi yang serius. Visi jauh melangkaui
keinginan maupun mimpi, sebab jika visi memengaruhi eksistensi seseorang maka
selalu ada harga yang harus dibayar dan militansi hingga akhir [2].
Jika kita mengatakan bahwa visi – misi GPIB yang selaras dengan PKUPPG adalah
MENJADI GEREJA YANG MEWUJUDKAN DAMAI SEJAHTERA ALLAH BAGI SELURUH CIPTAAN-NYA (
bnd. Yoh. 14 : 27 ) maka kehadiran sebuah program kerja perlu mempertimbangkan
teks di atas dalam konteks ke-kini-an. Sebuah telaah teologis perlu bergema
dalam seluruh rangkaian program kerja supaya ‘harga yang harus dibayar’ dan
‘militansi hingga akhir’ dapat menjadi pemenuhan terhadap idealism yang
berbasis realitas.
Teks Yohanes di
awal pasal 14 berbicara tentang ‘kegelisahan’ , yang dalam konteks masa kini
perlu dijawab oleh sebuah rencana pelayanan. Termaktub di dalamnya teks
tersebut adalah pernyataan Yesus tentang keberadaan – Nya sebagai primal
dimension. Jika hal ini menjadi perhatian dan dasar dari sebuah rencana
pelayanan / program kerja maka visi yang dihadirkan selalu berkaitan dengan
misi untuk merealisasikan kehendak Yesus sebagai Kepla Gereja. Maka perwujudan
visi – misi senantiasa perlu di jernihkan dari berbagai unsur yang akan
mengaburkannya [3]
. Gagasan demikian bertumpu pada : where are we now?, where do we want to be ?,
how do we plan to get there ?, how close did we come to our destination and
what is God calling us to be and do ? [4]. Melalui
tahap – tahap yang demikian maka keberadaan warga jemaat di muara progam atau
rencana pelayanan selalu mendapat ruang untuk terlibat didalam menjawab
kegelisahan diri maupun persekutuan. Efektifitas sebuah program / rencana
pelayanan dapat terukur dari : seberapa besar keterlibatan warga jemaat,
seberapa besar sebuah perbedaan dapat diserap sebagai pemikiran yang baik dan
benar , seberapa jauh warga jemaat beradaptasi dengan perubahan, seberapa dalam
dapat dipercaya ( trust not believe ) dan seberapa besar program / rencana
pelayanan ‘ hidup ‘ dalam aktifitas [5].
Berdasarkan pemikiran di atas maka
sebuah program / rencana pelayanan memerlukan pertemuan kebutuhan yang bersifat
sinodal dan local dalam terang visi GPIB yang secara substansial memberi arah
yang jelas dan dengan kritis dijalankan oleh setiap jemaat. Program / rencana
pelayanan hadir dengan pemikiran yang orisinil dan menghadirkan kegiatan yang
selalu aktual tanpa kehilangan identitas diri sebagai Gereja yang ada di dalam
dunia tetapi bukan berasal dari dunia.
II.
PROGRAM KERJA BERBASIS LINTAS BIDANG.
GPIB hadir dengan pemahaman yang menjadi kebijakan bersama dalam sebuah
persidangan yang dsebut sebagai bidang Missioner, bidang Institusional dan
bidang Pendukung. Melalui ke-3 pembidangan utama ini GPIB tidak menyatakan
program / rencana pelayanan sebagai kegiatan yang parsial tetapi menyeluruh (
komprehensif ). Richard E. Rushbultd mengemukakan bahwa faktor – faktor yang
dapat membangun sinergi antar bidang ialah , Isu aktual apakah yang dapat
mendorong atau menghambat jalannya sebuah program /rencana pelayanan, masalah utama
apakah yang mengemuka dan dapat menghambat pelaksanaan program serta apakah
yang menjadi kebutuhan secara kolektif [6].
Melalui pendapat yang dikemukakan oleh Rushbultd, kita dapat secara cermat
membangun desaian program / rencana pelayanan dengan pemahaman bahwa setiap
Badan Pelaksana Majelis Jemaat (BPMJ ) tidak bersifat independent tetapi
seluruh aktifitas BPMJ mengerucut pada kebijakan anggota Majelis Jemaat. Apa
yang hendak dijabarkan dalam kaitannya dengan program perlu diselaraskan dengan
isu – isu apakah yang sedang menjadi trend ( kecenderungan ). Setelah isu – isu
aktual teridentifikasi maka perlu dicermati permasalahan apakah yang muncul
ketika isu – isu aktual tersebut berhadapan dengan Gereja sehingga gagasan yang
dituangkan dalam program kerja adalah gagasan dengan prinsip kebutuhan kolektif
maupun personal dalam terang kebutuhan secara vertikal. Ruang ini telah
tersedia dalam pertemuan warga sidi jemaat yang menjadi ruang percakapan
tentang isu – isu aktual apakah yang ada dalam jemaat.
Melalui pendekatan demikian maka kehadiran sebuah program / rencana
pelayanan kena mengena dengan realitas dan hadir dengan kekuatan yang terus
diperbarui. Sebagai contoh , kita perlu menggumuli pertanyaan berikut : adakah
program / rencana pelayanan bidang kategorial ? atau program / rencana
pelayanan yang ada ialah program / rencana pelayanan anggota majelis jemaat
yang dilaksanakan oleh setiap Badan Pelaksana Majelis Jemaat ?
Program kerja yang memiliki basis pemahaman seperti diatas akan dipersiapkan
dengan serius untuk mencapai visi bersama baik pada tatara lokal maupun
sinodal.
III.
PROGRAM KERJA BERBASIS PADA REDUKSI ANTARA YANG
IDEAL DAN AKTUAL.
Program /
rencana pelayanan dibuat dengan asumsi
seluruh kegiatan akan bermuara pada perubahan. Pada titik inilah
seringkali dijumpai masalah krusial yakni ketika parameter perubahan belum
menjadi perhatian. Maksudnya ialah perubahan sebagai sebuah peristiwa aktual
bisa saja tidak terjadi dalam satu tahun program / rencana pelayanan dan hal
ini tidak dapat diasumsikan sebagai sebuah kegagalan. Mengapa ? sebab pada
bagian tertentu dari program / rencana pelayanan , hasilnya akan nampak pada
sekian tahun kedepan. Hal ini berarti bahwa jarak antara yang ideal dan aktual
tidak pernah berhimpit rapat.
Dalam konteks
ini maka faktor-faktor yang perlu diperhatikan ialah :
1. sense
of wonder dan sense of calling. Rasa takjub pada karya Allah yang terus
berkarya akan menjadi motivasi dalam menjalankan sebuah kegiatan sehingga gaung
dari rasa takjub tersebut akan berdampak pada panggilan dan pengutusan
merealisasikan sebuah kegiatan.
2. Jemaat yang bertumbuh dan
berbuah adalah arah dari sebuah kegiatan secara:
a.
Kuantitatif = pergi, baptis, dan ajarkan
(mat.28:19 –20) band. Kis. 1 : 15 dan
4:4, 6:7.
b.Kualitatif =
mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar (Ef. 4 :13)
3. Pemeliharaan Allah ( Providentia Dei ),
memperlihatkan bahwa melalui Gereja, Allah
berkarya menberitakan karya keselamatan
di dalam Yesus dan melalui Roh Kudus, Allah
berkarya mendatangkan pengudusan dan
penghiburan
lV. KESIMPULAN.
Sebuah program / rencana pelayanan senantiasa berkaitan dengan realitas
yang terus berubah sebagaiman gereja bertemu dengan realitas tersebut. Relasi
dinamis inilah yang selalu memberi ruang bagi gereja untuk menyatakan hakekat
panggilan dan pengutusan dengan Yesus sebagai primal dimension. Dalam konteks
yang demkian maka keberadaan sebuah program kerja tidak akan menafikan
perubahan disekitar gereja tetapi menggunakan perubahan tersebut sebagi energy
untuk berkarya.
Menjadi kewajiban kita bersama selaku anggota presbiter untuk melihat
sebuah program kerja tidak hanya pada dirinya sendiri ( an sich ) tetapi juga
mempertimbangkan berbagai faktor yang ada disekitarnya sebagai suatu realitas.
Maju terus bersama Yesus sebab dalam persekutuan dengan – Nya , jerih lelah
kita tidak sia – sia
[1]
Disampaikan dalam pembinaan PHMJ GPIB Mupel Bekasi, 5 Februari 2011.
[2]
Norman Shawchuck, Revitalizing The 21th Century Church ( Moody Press, Chicago,
1982 ) 15.
[3]
Ibid , p. 20.
[4]
Ibid, p. 19.
[5]
Thomas A. Bateman, Scott A. Snell, Management, Buliding Competitive Adventage,
( Irwin Inc, Boston, USA, 1996 ), 142.
[6]
Richard E. Rushbultd, Key Steps in Local Church Planning, ( Judson Press, Valley
Forge, PA, 1980 ) , 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar