Kamis, 08 September 2011

PROGRAM KERJA SEBUAH REALITAS HUBUNGAN DINAMIS ALLAH DAN GEREJA [1] ======================================== Pdt. Alex Letlora


Pendahuluan.
Gereja sebagai sebuah lembaga dan komunitas orang percaya senantiasa berkomunikasi secara dinamis dengan realitas yang terus berubah. Perubahan yang dijumpai oleh Gereja menjadi ruang untuk menyatakan keberadaan Gereja sebagai paguyuban yang hidup berdasarkan panggilan dan pengutusannya untuk mewartakan kabar sukacita secara konsisten. Hal ini perlu menjadi dasar perhatian kita bersama ketika selaku anggota majelis jemaat kita hendak menyusun sebuah program kerja. Dewasa ini keberadaan gereja sebagai persekutuan orang percaya diperhadapkan dengan tantangan yang semakin beragam kuantitas dan kualitasnya. Kenyataan ini menempatkan Gereja sebagai persekutuan yang harus memberi jawaban kongkrit terhadap berbagai tantangan tersebut. Warga jemaat yang bertemu langsung dengan kenyataan adalah subyek yang harus bergumul. Pergumulan warga jemaat ini memerlukan kelengkapan-kelengkapan teologis yang dapat dipertanggung-jawabkan. Maksudnya tanpa teologi yang benar maka yang terjadi adalah mengatasi persoalan dengan instan dan bertemu dengan persoalan baru. Dalam konteks inilah diperlukan kehadiran program kerja  yang melengkapi warga jemaat untuk dapat berkomunikasi dengan realitas tanpa menafikan identitas mereka sebagai orang percaya.
Bertolak dari pemahaman di atas maka sebuah program kerja tidak hanya terdiri dari kegiatan dan angka-angka tetapi memiliki dimensi lain yakni relasi vertikal yang menjadi ‘roh’ dari program kerja tersebut. Artinya perhatian sebuah program kerja bukan hanya pada di hilir tetapi di hulu juga memberi pengaruh yang signifikan. Sebuah program kerja menjadi desain utama dari pemahaman kita tentang karya dan keterlibatan Allah melalui Yesus Kristus sebagai Primal Dimension . Melalui pemikiran yang demikian maka paper ini tidak hanya berkisar di masalah praktis tetapi merupakan upaya praksis bagi kita dalam memahami dan menghayati sebuah program kerja.
Untuk hal tersebut kita akan memperhatikan beberapa faktor penting untuk mengemas sebuah program kerja yang aktual, moderat dan visioner sehingga program kerja senantiasa memberi ruang bagi terjadinya transformasi pembangunan jemaat. Dari paparan diatas maka perlu dilaksanakan suatu pengembangan  penyusunan program kerja yang berbasis pada konteks dalam mengantisipasi berbagai perubahan. Model yang memiliki determinasi teologi dan membuka peluang seperti dikemukakan Robert Schuller:
Every achievement is a process not an instamatic happening
Apa yang dikemukan oleh Schuller adalah titik awal suatu proses aktualisasi program yang sistematis dan terarah kepada pengembangan kemampuan setiap individu ( baik presbiter maupun warga jemaat ).
I.                 PROGRAM KERJA BERBASIS VISI - MISI.
Program kerja merupakan upaya serius dari para presbiter yang hendak mensistematisir kegiatan dalam jemaat agar idealisme yang berpijak pada kenyataan dapat diwujudkan secara baik. Ketika visi – misi ditetapkan, hal tersebut memerlukan pendalaman yang serius sebab ketika visi – misi hanya pada tataran wacana maka seluruh upaya perwujudannya mengalami deviasi yang serius. Visi jauh melangkaui keinginan maupun mimpi, sebab jika visi memengaruhi eksistensi seseorang maka selalu ada harga yang harus dibayar dan militansi hingga akhir [2]. Jika kita mengatakan bahwa visi – misi GPIB yang selaras dengan PKUPPG adalah MENJADI GEREJA YANG MEWUJUDKAN DAMAI SEJAHTERA ALLAH BAGI SELURUH CIPTAAN-NYA ( bnd. Yoh. 14 : 27 ) maka kehadiran sebuah program kerja perlu mempertimbangkan teks di atas dalam konteks ke-kini-an. Sebuah telaah teologis perlu bergema dalam seluruh rangkaian program kerja supaya ‘harga yang harus dibayar’ dan ‘militansi hingga akhir’ dapat menjadi pemenuhan terhadap idealism yang berbasis realitas.
Teks Yohanes di awal pasal 14 berbicara tentang ‘kegelisahan’ , yang dalam konteks masa kini perlu dijawab oleh sebuah rencana pelayanan. Termaktub di dalamnya teks tersebut adalah pernyataan Yesus tentang keberadaan – Nya sebagai primal dimension. Jika hal ini menjadi perhatian dan dasar dari sebuah rencana pelayanan / program kerja maka visi yang dihadirkan selalu berkaitan dengan misi untuk merealisasikan kehendak Yesus sebagai Kepla Gereja. Maka perwujudan visi – misi senantiasa perlu di jernihkan dari berbagai unsur yang akan mengaburkannya [3] . Gagasan demikian bertumpu pada : where are we now?, where do we want to be ?, how do we plan to get there ?, how close did we come to our destination and what is God calling us to be and do ? [4]. Melalui tahap – tahap yang demikian maka keberadaan warga jemaat di muara progam atau rencana pelayanan selalu mendapat ruang untuk terlibat didalam menjawab kegelisahan diri maupun persekutuan. Efektifitas sebuah program / rencana pelayanan dapat terukur dari : seberapa besar keterlibatan warga jemaat, seberapa besar sebuah perbedaan dapat diserap sebagai pemikiran yang baik dan benar , seberapa jauh warga jemaat beradaptasi dengan perubahan, seberapa dalam dapat dipercaya ( trust not believe ) dan seberapa besar program / rencana pelayanan ‘ hidup ‘ dalam aktifitas [5].
            Berdasarkan pemikiran di atas maka sebuah program / rencana pelayanan memerlukan pertemuan kebutuhan yang bersifat sinodal dan local dalam terang visi GPIB yang secara substansial memberi arah yang jelas dan dengan kritis dijalankan oleh setiap jemaat. Program / rencana pelayanan hadir dengan pemikiran yang orisinil dan menghadirkan kegiatan yang selalu aktual tanpa kehilangan identitas diri sebagai Gereja yang ada di dalam dunia tetapi bukan berasal dari dunia.

II.               PROGRAM KERJA BERBASIS LINTAS BIDANG.
GPIB hadir dengan pemahaman yang menjadi kebijakan bersama dalam sebuah persidangan yang dsebut sebagai bidang Missioner, bidang Institusional dan bidang Pendukung. Melalui ke-3 pembidangan utama ini GPIB tidak menyatakan program / rencana pelayanan sebagai kegiatan yang parsial tetapi menyeluruh ( komprehensif ). Richard E. Rushbultd mengemukakan bahwa faktor – faktor yang dapat membangun sinergi antar bidang ialah , Isu aktual apakah yang dapat mendorong atau menghambat jalannya sebuah program /rencana pelayanan, masalah utama apakah yang mengemuka dan dapat menghambat pelaksanaan program serta apakah yang menjadi kebutuhan secara kolektif [6]. Melalui pendapat yang dikemukakan oleh Rushbultd, kita dapat secara cermat membangun desaian program / rencana pelayanan dengan pemahaman bahwa setiap Badan Pelaksana Majelis Jemaat (BPMJ ) tidak bersifat independent tetapi seluruh aktifitas BPMJ mengerucut pada kebijakan anggota Majelis Jemaat. Apa yang hendak dijabarkan dalam kaitannya dengan program perlu diselaraskan dengan isu – isu apakah yang sedang menjadi trend ( kecenderungan ). Setelah isu – isu aktual teridentifikasi maka perlu dicermati permasalahan apakah yang muncul ketika isu – isu aktual tersebut berhadapan dengan Gereja sehingga gagasan yang dituangkan dalam program kerja adalah gagasan dengan prinsip kebutuhan kolektif maupun personal dalam terang kebutuhan secara vertikal. Ruang ini telah tersedia dalam pertemuan warga sidi jemaat yang menjadi ruang percakapan tentang isu – isu aktual apakah yang ada dalam jemaat.
Melalui pendekatan demikian maka kehadiran sebuah program / rencana pelayanan kena mengena dengan realitas dan hadir dengan kekuatan yang terus diperbarui. Sebagai contoh , kita perlu menggumuli pertanyaan berikut : adakah program / rencana pelayanan bidang kategorial ? atau program / rencana pelayanan yang ada ialah program / rencana pelayanan anggota majelis jemaat yang dilaksanakan oleh setiap Badan Pelaksana Majelis Jemaat ?
Program kerja yang memiliki basis pemahaman seperti diatas akan dipersiapkan dengan serius untuk mencapai visi bersama baik pada tatara lokal maupun sinodal.

III.             PROGRAM KERJA BERBASIS PADA REDUKSI ANTARA YANG IDEAL DAN AKTUAL.
Program / rencana pelayanan dibuat dengan asumsi  seluruh kegiatan akan bermuara pada perubahan. Pada titik inilah seringkali dijumpai masalah krusial yakni ketika parameter perubahan belum menjadi perhatian. Maksudnya ialah perubahan sebagai sebuah peristiwa aktual bisa saja tidak terjadi dalam satu tahun program / rencana pelayanan dan hal ini tidak dapat diasumsikan sebagai sebuah kegagalan. Mengapa ? sebab pada bagian tertentu dari program / rencana pelayanan , hasilnya akan nampak pada sekian tahun kedepan. Hal ini berarti bahwa jarak antara yang ideal dan aktual tidak pernah berhimpit rapat.
Dalam konteks ini maka faktor-faktor yang perlu diperhatikan ialah :
1.     sense of wonder dan sense of calling. Rasa takjub pada karya Allah yang terus berkarya akan menjadi motivasi dalam menjalankan sebuah kegiatan sehingga gaung dari rasa takjub tersebut akan berdampak pada panggilan dan pengutusan merealisasikan sebuah kegiatan.
2. Jemaat yang bertumbuh dan berbuah adalah arah dari sebuah kegiatan secara:
a. Kuantitatif = pergi, baptis, dan ajarkan (mat.28:19 –20) band. Kis. 1 : 15 dan 
                                          4:4, 6:7.
b.Kualitatif     =  mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar (Ef. 4 :13)
     3. Pemeliharaan Allah ( Providentia Dei ), memperlihatkan bahwa melalui Gereja, Allah       
        berkarya menberitakan karya keselamatan di dalam Yesus dan melalui Roh Kudus, Allah
        berkarya mendatangkan pengudusan dan penghiburan
lV. KESIMPULAN.
Sebuah program / rencana pelayanan senantiasa berkaitan dengan realitas yang terus berubah sebagaiman gereja bertemu dengan realitas tersebut. Relasi dinamis inilah yang selalu memberi ruang bagi gereja untuk menyatakan hakekat panggilan dan pengutusan dengan Yesus sebagai primal dimension. Dalam konteks yang demkian maka keberadaan sebuah program kerja tidak akan menafikan perubahan disekitar gereja tetapi menggunakan perubahan tersebut sebagi energy untuk berkarya.
Menjadi kewajiban kita bersama selaku anggota presbiter untuk melihat sebuah program kerja tidak hanya pada dirinya sendiri ( an sich ) tetapi juga mempertimbangkan berbagai faktor yang ada disekitarnya sebagai suatu realitas. Maju terus bersama Yesus sebab dalam persekutuan dengan – Nya , jerih lelah kita tidak sia – sia


[1] Disampaikan dalam pembinaan PHMJ GPIB Mupel Bekasi, 5 Februari 2011.
[2] Norman Shawchuck, Revitalizing The 21th Century Church ( Moody Press, Chicago, 1982 ) 15.
[3] Ibid , p. 20.
[4] Ibid, p. 19.
[5] Thomas A. Bateman, Scott A. Snell, Management, Buliding Competitive Adventage, ( Irwin Inc, Boston, USA, 1996 ), 142.
[6] Richard E. Rushbultd, Key Steps in Local Church Planning, ( Judson Press, Valley Forge, PA, 1980 ) , 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar