Senin, 17 Oktober 2011

PERSEMBAHAN BUKAN SUMBANGAN. ( sebuah refleksi atas persembahan di Roma 12 : 1 – 2 ) -----------------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan.

Persembahan syukur adalah sebuah tanggapan Kristiani yang bertolak dari kesadaran imanen bahwa Allah adalah Allah yang menciptakan segala sesuatu dan pemilik segala sesuatu. Narasi tentang penciptaan dalam Kejadian 1 menegaskan bahwa Allah adalah Allah Sang Pencipta (creator) dan sekaligus menyediakan ( provider ) segala yang diperlukan oleh manusia. Kasih karunia inilah yang kemudian menjadi dasar dari suatu perintah bahwa manusia untuk mengelola karya penciptaan Allah ( Kej. 1 : 26 – 30 ).

Intervensi dosa dalam kehidupan manusia telah menempatkan posisi manusia dengan mandate yang ada padanya tercemar. Dosa sebagai bentuk pemberontakan terhadap telah merusak semua tatanan penciptaan dan berujung pada maut. Hal berdosa ini telah membuka jurang yang membentang antara Allah dan manusia. Dosa dalam bentuknya yang persuasive telah mengubah pola berpikir manusia yang terarah kepada Allah menjadi terarah pada diri sendiri.
Kasih karunia Allah didalam Yesus Kristus telah merobohkan tembok tebal yang menjadi dinding pemisah antara Allah dan manusia. Maka melalui karya dan pelayanan Yesus Kristus telah dikembangkan lagi suatu model tata kehidupan baru yang menjadi bingkai religiositas baru. Melalui karya dan penyelamatan Yesus kristus telah dimulai sebuah orde yang baru yakkni orde kasih karunia.

Konteks berpikir diatas menjadi titik tolak pemikiran Paulus ketika mengetengahkan pandangannya mengenai persembahan. Paulus hendak mendasari pokok pikiran tentang persembahan dalam konteks karya dan penyelematan Allah didalam Yesus Kristus.

Persembahan syukur kemudian diposisikan sebagai sebuah tanggapan atas seluruh karya penyelamatan Allah yang berpuncak pada Yesus Kristus. Persembahan dalam perspektif yang demikian memilki makna yang menukik pada pola gerak dari yang transenden menjadi yang imanen


1. Dasar Persembahan.
Dalam Rm 12:1, Paulus menekankan the spirit of worship (prinsip ibadah) yang dimulai dengan jiwa persembahan, “Demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Maka setiap anak Tuhan seharusnya memiliki jiwa sacrifice sebagai korban yang hidup bagi Tuhan. Inilah dasar persembahan Kristen.

Persembahan yang diberikan sebagai tanggapan atas kasih setia Allah, sebab Allah bukanlah Allah yang miskin sehingga warga jemaat dapat berhitung dengan Tuhan. Firman Tuhan menyatakan bahwa : 9Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, 10sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. 11Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku. 12Jika Aku lapar, tidak usah Kukatakan kepadamu, sebab punya-Kulah dunia dan segala isinya. 13Daging lembu jantankah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum?” (Mzm. 50:9-13).
Maka inilah yang hendak Paulus katakan di sini. Seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan, pokoknya seluruh kemampuan dan kegiatan kita, harus dipersembahkan kepada Tuhan. Hal itu membawa kita pada beberapa pemahaman :
Pertama, bahwa 'mempersembahkan' berarti penyerahan total. Kita tak dapat menyisihkan sebagian untuk dipegang sendiri atau diserahkan kepada pihak lain (bandingkan Kisah 5:1 dyb.). Juga kurban itu harus bersifat sempurna (bandingkan kata-kata 'tidak bercela' yang berkali-kali dipakai dalam Kitab Imamat).
Kedua, kalau orang percaya 'mempersembahkan tubuhnya' kepada Allah, hal itu berarti bahwa seluruh kehidupan mereka adalah milik Tuhan. Untuk seterusnya mereka harus minta kepada-Nya apa kehendak-Nya mengenai kehidupan mereka. Dengan demikian perkataan ' kudus' itu mencakup pula arti ' suci'. Maka kekudusan (kesucian) itu bukan bahan jadi, yang kita peroleh dan untuk seterusnya kita miliki. Di tempat lain, Paulus memakai pula istilah hagios (kudus). Seorang Kristen harus berupaya terus hidup semakin sesuai dengan kehendak Dia yang menjadi pemiliknya, tuannya. Dengan demikian juga persembahannya menjadi berkenan kepada Allah. Hal serupa dikatakan pula dalam Roma 14:18; 2 Korintus 5:9 dan lain-lain tempat.
Dalam Roma 12 : 2 dikemukakan oleh Paulus bahwa model persembahan tidak boleh sama dengan model dunia. Persembahan bukanlah sebuah transaksi teologis tetapi bertolak dan bertumpu dari hubungan perjanjian yang dibangun berdasarkan kasih karunia Allah. Jika posisinya demikian maka dominasi ucapan syukur perlulah dielaborasi didalam tindakan nyata. Persembahan lalu memilki makna yang dibangun dalam ketulusan dan kebenaran ditengah dunia yang cemar. Persembahan syukur dalam keduniawian adalah persembahan syukur dengan motivasi yang tidak dikehendaki Allah. Persembahan yang memiliki sifat pesimistik terhadap karya penyertaan Allah. Selanjutnya persembahan yang demikian selalu menjadi alat tawar menawar terhadap berkat Allah. Inilah gagasan persembahan yang ditolak oleh R. Paulus dalam pemikiran Rom. 12 : 2. Tidak menjadi sama dengan dunia berarti tidak mencari untung melalui persembahan tetapi dalam kesadaran bahwa Allah selalu memberkati.
II. Persembahan dan berkat
Tuhan pasti memberkati setiap umatNya yang setia, taat dan sungguh-sungguh dalam beribadah termasuk memberi persembahan dengan baik. Tapi, kalau persembahan diberikan dengan motivasi untuk mendapat berkat Tuhan maka si pemberi berdosa. Sebelumnya telah dibahas bahwa persembahan diberikan ke rumah perbendaharaan supaya pengelolaan bait Allah berjalan dengan baik sehingga terpelihara dan tak kekurangan sesuatupun. Setelah itu, Tuhan berjanji, “Ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan. Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman Tuhan semesta alam. Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman Tuhan semesta alam” (Mal 3:10-12). Inilah anugerahNya setelah perintah persembahan dijalankan. Sesungguhnya, Allah yang berotoritas tidak perlu menjanjikan apapun tetapi berhak menuntut orang Kristen untuk memberi persembahan ke rumahNya karena manusia dan seluruh harta dunia adalah ciptaanNya. Sedangkan manusia tak berhak melawanNya.
Allah yang agung sangat mengasihi manusia. Ironisnya, ketika mendengar janji tersebut, manusia berdosa cenderung bersikap kurang ajar dengan menganggapnya sebagai kesempatan untuk menguji Tuhan sekehendak hati. Padahal, seharusnya anak Tuhan bereaksi takut dan gentar. Memang, sangat sedikit orang Kristen yang mengerti hubungan vertikal ini dengan baik hingga jadi lebih rendah hati dan mawas diri.
Selain itu, janji tersebut juga menunjukkan bahwa Tuhan takkan pernah ingkar karena Ia berdaulat. Janji Tuhan bukanlah konsep sejajar. Maka tak seorang pun berhak mengklaimNya. Tapi, banyak orang Kristen justru berani menuntut Tuhan. Padahal sikap seperti itu termasuk pelecehan, seolah-olah Ia tidak akan memenuhi janjiNya. Kalau Tuhan tidak menepati janji, berarti Ia tak bertanggung jawab. Padahal, perjanjian diberikan oleh Allah demi memelihara umatNya.
Allah tak pernah bermaksud memanipulasi manusia. MotivasiNya sangat murni. Bahkan ketika Ia menuntut setiap orang Kristen untuk menjalankan perintahNya, itu demi kebaikan orang tersebut. God is a Self-Sufficient God (Tuhan adalah Allah yang mencukupkan Diri dalam segala sesuatu). Maka Ia tidak membutuhkan apapun dari manusia. Justru, kemurnian motivasiNya harus dijadikan pelajaran penting dalam Kekristenan. Jangan memakai janjiNya untuk egois materialis melainkan harus diresponi juga dengan kemurnian motivasi.

Seluruh konsep Alkitab mengatakan bahwa ketika Allah memberi janji, pasti ada perintah yang harus dijalankan terlebih dahulu. Takkan pernah terjadi, janji dicetuskan tanpa adanya perintah. Dalam Mal 3:10 dicatat, “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumahKu dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Yoh 15:16 mencatat firman Tuhan, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap.” Inilah perintah yang harus dikerjakan oleh semua anak Tuhan sebelum mendapatkan janjiNya, “supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu.” Namun kebanyakan orang berdosa termasuk orang Kristen mengingat hanya ayat b untuk mengklaim janji Tuhan dan melupakan perintahNya.
Fakta ini menunjukkan betapa jahat dan egoisnya manusia. Padahal, jikalau perintahNya dikerjakan sebaik mungkin maka tanpa perlu diklaim, Tuhan pasti memenuhi janji. Mat 28:19-20 juga mencatat amanat agung, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Selanjutnya, kalimat terakhir menyatakan, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman.” God of Emmanuel. Allah beserta kita selamanya. Ayat ini seringkali dihafalkan untuk menghadapi kesusahan, ketakutan dan sebagainya. Tapi, perintahNya tak diingat apalagi dijalankan. Orang Kristen sejati seharusnya mengerti bagaimana berurusan dengan janji Tuhan yaitu melalui perintahNya. Jadi, setelah perintah Tuhan dimengerti maka janjiNya dapat dimengerti pula kemudian hubungan antara keduanya pun dapat dipahami. Dengan demikian, komposisi pengertian menjadi tepat.

Dalam 2 Kor, Paulus menjelaskan pengertian berkat Tuhan, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Kor 9:6). Prinsip ini sangat logis dan wajar. Maka dalam 2 Kor 9:7 ia memerintahkan, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Setelah perintah ini dijalankan, barulah janji diberikan, “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9:8). Dengan kata lain, Paulus menginginkan semua orang Kristen memahami berkat Tuhan, bukan hanya sekedar secara aspek material tetapi ia ingin mereka mengerti akan kebaikanNya melalui anugerah berlimpah dalam konsep yang lebih holistik, meluas dan menyatu ke seluruh hidup. Persembahan sebenarnya dapat membangun hati yang puas dan bersyukur kepada Tuhan. Orang yang tak pernah puas akan menyengsarakan hidupnya sendiri dan juga orang di sekitarnya di manapun ia berada.


III. KANTONG PERSEMBAHAN.
Jika persembahan sebagaimana telah diuraikan diatas merupakan tanggapan atas karya Allah yang bermuara pada pelayanan Yesus Kristus maka setiap orang Kristen tidak lagi dibelenggu dengan aspek – aspek praktis dalam hal kantong persembahan.
GPIB dalam Persidangan Gerejawi telah menetapkan bahwa persembahan dan ibadah ( dalam arti yang sempit maupun luas ) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Kantong persembahan yang dipergunakan selama ini adalah 3 kantong kemudian menjadi 1 kantong. Hal ini bertolak dari gagasan bahwa :
a.yang dikehendaki Allah ialah persembahan diri yakni kualitas persembahan dan bukan kuantitas persembahan. Melalui makna persembahan yang demikian maka kantong persembahan sebagai alat untuk melakukan persembahan tidak memengaruhi kualitas persembahan itu sendiri.
b. persembahan sebagai wujud ketergantungan manusia kepada Allah sekaligus menandakan kesediaan diri untuk diperbarui oleh Allah. Maka 1 kantong persembahan atau 3 kantong persembahan adalah sarana dan bukan tujuan dari persembahan itu sendiri. Sehingga dengan adanya penggunaan 1 kantong persembahan tidak berarti bahwa persembahan tersebut berkurang maknanya.

Kesimpulan dari semua gagasan tentang persembahan adalah hadirnya sebuah pembaruan pola piker, dan pola tindakan yang terus menerus menggema dan diwujudkan oleh warga jemaat dalam hubungannya dengan Allah.
Perilaku persembahan kemudian dibangun dengan keyakinan bahwa persembahan bukanlah alat untuk mencari simpati apalagi popularits dari Allah, sebab Allah yang kini imani adalah Allah yang selalu tahu kebutuhan kita.
Persembahan dalam makna yang luas lalu menjadi ‘arcus’ atau pelangi yang lengkungan warna-warninya menjadi sebuah kenyataan yang indah.