Rabu, 20 Juli 2011

AKTA GEREJA. GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT ( GPIB )

Pendahuluan.

Kehadiran Gereja sebagai persekutuan orang percaya senantiasa diperhadapkan dengan berbagai kenyataan yang menantang. Hal ini berkaitan dengan keberadaan gereja yang eksistensinya tidak terlepas sebagai pembawa berita damai sejahtera. Dalam konteks yang demikian maka kehadiran gereja akan terus menerus diperhadapakan dengan realitas yang berubah. Maka identitas gereja tidak hanya diperlihatkan melalui aspek historis yang dimiliki tetapi identitas itu juga muncul melalui tanggapan gereja atas berbagai perubahan. Gereja yang kontekstual adalah gereja yang memahami permasalahan yang ada disekitarnya agar kehadiran gereja senantiasa relevan dengan tugas panggilan dan pengutusannya.
Bertolak dari gagasan yang demikian maka dalam konteks gereja ( baca : GPIB ) terdapat perubahan yang terus terjadi dengan berbagai akibatnya. Pada titik inilah diperlukan adanya suatu pijakan teologis yang memungkinkan gereja senantiasa menghadirkan identitasnya sebagai saksi-saksi Kristus.
Untuk itulah penulisan materi tentang akta gereja ini dikemukakan dengan menjelaskan apakah akta gereja dan perannya di tengah-tengah realitas yang berubah. Juga disampaikan kumpulan akta gereja sebagai hasil persidangan sinode yang masih berlaku di lingkungan GPIB.

AKTA DALAM KONTEKS GEREJA.

Istilah akta , menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti : surat tanda bukti berisi pernyataan / keterangan resmi, pengakuan, keputusan dan sebagainya yang dibuat menurut ketentuan yang berlaku dan disaksikan / disahkan oleh pejabat yang berwenang.[1] Berdasarkan paparan tersebut maka akta dalam konteks gereja ialah suatu pernyataan resmi Gereja yang merupakan pengakuan dan keputusan GPIB dalam kerangka memberi tanggapan terhadap berbagai persoalan kontemporer di tengah-tengah kehidupan bergereja dan berjemaat. Dalam ketetapan Persidangan Sinode GPIB ke XV tahun 1990 di Ujung Pandang bahkan dikemukakan bahwa Akta Gereja merupakan fatwa, petunjuk praktis mengenai masalah yang belum ditetapkan dalam peraturan gereja.[2] Akta gereja yang merupakan hasil telaah situasi beserta pembahasan teologis dimaksudkan untuk memberikan dasar-dasar dan pedoman penyelesaian. Karena itu tidak mustahil bahwa akta tidak diperlukan lagi atau dianggap terlalu jauh melihat kedepan dank arena itu dianggap kurang mengena dengan keadaan yang ada.[3] Karena itu patut dipahami adanya perbedaan yang mendasar antara Akta Gereja dan Tata Gereja. Kalau Tata Gereja lebih menekankan aspek kebijakan jangka panjang maka Akta gereja lebih menitik beratkan pada aspek yang bersifat aktual. Paling tidak dengan adanya akta gereja maka 3 hal telah dapat dipagari yakni :

1.      permasalahan yang dihadapi sepnajang sejarah perjalanan ber- GPIB.
2.      prinsip penyelesaian masalah sebagimana yang telah dilakukan oleh GPIB sepajang sejarah pelayanannya.
3.      petunjuk penyelesaian masalah sebagaimana yang dipandang baik oleh GPIB untuk seluruh jemaat.[4]
Hal-hal diatas adalah dalam kerangka menghayati kehadiran gereja yang senantiasa berinteraksi dengan dunia dimana ia hadir. Dengan berpikir demikian hendak diketengahkan tanggapan gereja atas kasih Allah yang diwujudkan secara bertangung jawab selaras dengan pemahaman iman gereja ( baca : gpib )


AKTA GEREJA HASIL PERSIDANGAN SINODE GPIB KE XVI
DI SEKESALAM, BANDUNG TAHUN 1995.
--------------------------------------------------------------------

* Pertunangan.
·           Masalah.
1.      yang dimaksud dengan pertunangan adalah suatu lembaga adat yang masih  
2.      berlangsung dalam masyarakat Indonesia dan kebiasaaan dimana HOCI masih berlaku, yang digunakan oleh gereja untuk meresmikan hubungan mereka , mendoakan , membina dan menggembalakan warganya  menuju pernikahan.
                  dalam wilayah pelayanan GPIB dimana kaidah-kaidah hukumadat masih   
                  berlangsung, pertunangan mengakibatkan perjanjian untuk menikah serta
                  pembatasan pergaulan antara kedua pihak yang bertunangan.
            3. pertunangan antara warga gereja dengan bukan warga gereja

·           Prinsip Penyelesaian.
            1. Pertunangan sebagai upacara harus diawali dengan percakapan penggembalaan.
                setelah upacara pertunangan yang bersangkutan harus mengikuti kateksasi
                khusus untuk pernikahan.

            2.Pernikahan baru dapat dilaksanakan setelah penggembalaan pernikahan
               dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan.
* Perceraian.
·           Masalah.
            1. bahwa Allah menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Diciptakannya laki-
                laki dan perempuan untuk menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
                sebab itu seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan  
                istrinya. Persekutuan antara suami dan istri ini adalah suatu rahasia yang besar
                yang mencerminkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.

            2. Firman Allah menyatakan bahwa oleh dosa maka pernikahan manusia menghadapi kesukaran, kedukaan, pergumulan dan pencobaan. Namun demikian Kristus telah menempatkan pernikahan orang beriman dalam terang kasih karunia-Nya dan memberikan kepastian kebahagiaanserta keselamatan bagi mereka yang setia kepada-Nya. Alkitab juga menyaksikan bahwa oleh ketegaran hati manusia maka dasar-dasar nikah itu sering goncang dan mengalami kegagalan yang dapat mengakibatkan perceraian.

            3. beberapa motivasi yang melatar belakangi suatu perceraian :
3.1 motivasi yang berkaitan dengan latarbelakang serta maksud orang menikah :
a.       lasan materialistis.
b.       alasan suku / kawin paksa secara adat. 
c.       alasan prestasi.
d.      alasan menyelamatkan nama baik keluarga
e.       alasan kawin bisnis / kawin kontrak
f.        alasan kehamilan
g.       alasan pemuasan libido ( hawa nafsu ) sex.
h.      alasan akibat perjodohan orang tua
i.         alasan batas usia muda.


                        3.2 motivasi yang berkaitan dengan kenyataan yang muncul dalam pernikahan
a.       alasan ketidakpuasan seksual.
b.      alasan penyimpangan perilaku.
c.       alasan keterlibatan pihak ketiga. misalnya : orang tua, teman, kenalan.
d.      alasan ekonomi.
e.       alasan perangai ( ketakutan ).
f.       alasan penyimpangan perilaku seksual.
g.      alasan krisis identitas.
h.      alasan kurangnya penghargaan.
i.        alasan perbedaan agama.
j.        alasan tempat tinggal yang berjauhan.

·           Prinsip Penyelesaian.
                        1. secara prinsip GPIB menolak tegas perceraian.
                        2. krisis-krisis yang muncul dalam pernikahan harus ditangani lewat   
                            penggembalaan dengan melibatkan pula pihak-pihak lainnya ( psikolog,   
                            badan penasehat pernikahan ).
          bilamana perceraian tidak dapat dielakkan dan jalan satu-satunya untuk
          menghindari kegagalan bagi suami, istri dan anak-anak yang   
          bersangkutan maka gereja wajib mengadakan penggembalaan  khusus  
          kepada insan yang bersangkutan secara intensif

* Euthanasia
·           Masalah.
    1. Istilah Euthanasia berasal dari dua kata Yunani, EU ( baik, indah ) dan
THANATOS  (mati ) yang berarti ' mati baik ' atau ' mati indah ', didalamnya mengandung pengertian mati dengan tentram.
    1. Dalam perkembangannya Euthanasia digunakan terhadap kasus-kasus dimana seseorang yang sedang dalam sakratul maut dipertimbangkan untuk diakhiri perjalanan  hidupnya.
    2. Dalam kaitannya dengan dunia kedokteran, pengertian euthanasia lebih
ditekankan pada tindakan mengakhiri penderiataan pasien yang tidak disembuhkan secara medis dengan mengakhiri hidupnya.
    1. Dari segi hukum euthanasia adalah tindakan pembunuhan (KUHP pasal  
340, 344, 380). Namun demikian dari segi ekonomi euthanasia meringankan pembiayaan pasien   / keluarga pasien.
    1. Ditengah-tengah kenyataan ini tidak tertutup kemungkinan warga GPIB
mengalami hal  seperti ini, baik sebagai pasien, keluarga pasien ataupun dokter.

·           Prinsip Penyelesaian.
1.      tindakan euthanasia berkaitan erat dengan etik moral seorang dokter ataupun pasien /  keluarga pasien itu sendiri.
a.       dokter tidak mempunyai hak dengan maksud baik apapun , diminta ataupun tidak diminta untuk mengakhiri hidup seorang pasien yang sedang menderita, dokter terikat  sumpahnya. Tetapi dokter    tidak mempunyai hak dengan alat atau fasilitas apapun untuk
                  merangsang kehidupan sekalipun sudah dapat ditemukan secara  
                  medis bahwa seorang pasien akan segera berakhir hidupnya.

2.      Allah menghendaki kehidupan dan oleh karena itu euthanasia sebagai tindakan mengakhiri  penderitaan dengan mempercepat / memperkenankan berakhirnya hidup seseorang bertentangan dengan kehendak Allah. Tindakan ini hanyalah keinginan manusia, tetapi  bukan kehendak Allah. ( Roma 8 : 31 - 39 ).

* Homoseksual.

·           Masalah.
                       
1.      Pengertian : seseorang yang tertarik secara seksual kepada sesama jenis  seksnya. Bila itu terjadi  pada wanita disebut Lesbian.
2.      Masalah homoseks masih rumit dan masih disalah mengerti oleh   
sebagian jemaat / masyarakat. Hubungan seks antara seorang laki-laki yang mirip wanita dan seorang wanita yang bersifat laki-laki masih belum diterima sebagai homoseks, meskipun ada  beberapa diantaranya menunjukkan ciri-ciri demikian.
                        3. Gereja menggumuli masalah homoseks dalam ementukan sikapnya.
·           Prinsip Penyelesaian.
1.      Masalah homoseksual memerlukan penanganan yang arif dan tegas.
Gereja tetap  berpegang pada prinsip bahwa hubungans seks hanya dapat dibenarkan antara suami- istri dalam lembaga nikah yang sah. ( band. 1 Kor. 7 : 3 - 4, Ef. 5 : 22 - 33 ).
2.      Untuk penaganan homoseksual diperlukan pendekatan melalui
pembinaan yang  intensif dan penggembalaan.

* Abortus.

·           Masalah.
1.      Pengertian : pengangkatan bakal manusia dari rahim / kandungan
dengan campur tangan manusia yang mengakibatkan kematian.
2.      Dalam kenyataan bahwa pengguguran ada dalam kehidupan jemaat /
masyarakat dalam bentuk:
                                    a. keguguran.
                                    b. pengguguran langsung
                                    c. pengguguran yang bersifat Therapeutis.
                        3. gereja menggumuli masalah pengguguran dalam menentukan sikapnya.

·           Prinsip Penyelesaian.
1.      Dalam penanganan masalah keguguran, Gereja tetap berprinsip bahwa
baik hidup ataupun mati kita ini milik Tuhan. Namundalam realita gereja tetap menggumuli   masalah-masalah pengguguran,     oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah /  tindakan baik bersifat pembinaan maupun  penggembalaan.

2.      Untuk mencegah terjadinya praktek pengguguran maka peranan
pembinaan warga jemaat di semua tingkat : keluarga , PA, PT, PT, GP, dan warga jemaat / masyarakat. Khususnya kasus-kasus yang bersifat dilematis perlu diadakan kosultasi dengan para ahli.




[1] Membina Untuk Bertumbuh Bagi Kemuliaan Allah, Majelis Sinode GPIB, 2002, h. 52.
[2] Hasil Persidangan Sinode GPIB ke XV, majelis Sinode GPIB, Jakarta, 1991, h. 78.
[3] Ibid.
[4] Membina , h. 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar