Rabu, 30 Mei 2012

GEREJA DAN PERUBAHAN DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN GEREJA

Pendahuluan.

Kebutuhan akan pola kepemimpinan yang aktual merupakan kebutuhan yang tidak pernah berhenti. Hal ini bertolak dari pemahaman bahwa perubahan yang terjadi di sekitar organisasi / persekutuan merupakan perubahan yang berlangsung terus menerus. Aktualisasi kepemimpinan bagaimanapun juga merupakan energi yang akan mendorong perjalanan sebuah organisasi. Dalam konteks yang demikian maka kepemimpinan suatu organisasi patut mengalami pembaruan tanpa henti sehingga pembaruan yang dimaksud sebagai suatu pola peningkatan kinerja kepemimpinan yang kontekstual dan mampu menjawab perubahan yang terjadi dapat diwujudkan. Untuk itu patut dipahami terlebih dahulu adanya perbedaan yang tajam antara ‘ keabadian ‘ makna seorang pemimpin dengan ‘kesementaraan’ makna ( temporal ) seorang pejabat. Ungkapan Romo Muji ini menghadirkan kesadaran yang mendasar untuk senantiasa mewasapadai perbedaan tajam tersebut. Sebab dengan memahamai perbedaan tersebut maka pemimpin senantiasa melihat dengan tajam keberadaan dirinya. Pola kepemimpinan yang aktual bagaimanapun juga memerlukan ‘keterbukaan’ ranah nurani untuk menghantar suatu organisasi pada posisi yang secara tetap menjawab berbagai perubahan. Di era dewasa ini perubahan yang terjadi telah menghasilkan nilai-nilai hidup yang terbungkus berbagai atribut yakni keterasingan ( alienasi ), konsumerisme dengan berbagai dampaknya dan individualisme. Nilai-nilai ini dapat dibaca sebagai sebuah sistem nilai yang sifatnya permisif dengan menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan ( yang paling kotor sekalipun ).
Perubahan memang terjadi bahkan tidak dapat dihentikan oleh perubahan itu sendiri. Hal ini menempatkan seorang pemimpin untuk terus menerus mengeksploitasi kemampuannya agar mengalami sinergi dengan energi yang ada pada anggota organisasi. Dalam konteks berpikir yang demikian maka pola kepemimpinan yang aktual memerlukan konsistensi dalam visi dan misi sebagai tujuan bersama dari hasil kesepakatan yang dicapai semua anggota sebuah organisasi atau persekutuan.
Legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral yang berarti ia memberi kontribusi secara optimal kepada organisasi / persekutuan yang bertolak dari perjuangan moralnya yaitu memiliki dan menghayati ide, visi, misi dan pemerdekaan yang memungkinkannya menuruti hati nurani dan mengatakan yang benar adalah benar.
Dalam konteks gereja sebagai persekutuan yang dipanggil keluar dari gelap kepada terang-Nya yang ajaib ( I Pet. 2 : 9 ) diperlukan suatu pola kepemimpinan yang mau terus menerus diperbarui. Dalam hal ini seorang pemimpin memerlukan tidak hanya kecerdasan secara intelektual namun juga kecerdasan untuk tidak terbelenggu pada pada wacana kekudusan. Komitmen ini akan mengkristal dalam bentuk operasioanal yang menjangkau dan membebaskan.
Gereja sebagai persekutuan yang kudus memerlukan peran seorang pemimpin yang menjaga nilai-nilai kekudusan yang teraktualisasi dalam pola kepemimpinannya. Keberadaan gereja yang senantiasa bersinggungan dengan perubahan akan menempatkan gereja untuk senantiasa menjawab perubahan tersebut dalam perspektif ke-kudus-an yang melekat padanya. Berbagai polusi kepentingan yang sifatnya temporer menantang gereja sebagai alat pembebasan yang mengusung kabar sukacita yang merambah keseluruhan hidup manusia. Sekat-sekat kepentingan temporer tersebut hendaknya mampu ditanggulangi oleh gereja dengan sifat inklusifnya.
Pada tataran inilah maka kepemimpinan gereja yang aktual mencerminkan gereja yang kontekstual yakni gereja yang sadar akan tantangan yang dihadapi dan mengupayakan penghayatan dan pemahaman makna kehadirannya secara berkualitas. Menurut E.G Singgih yang penting bukan merancang sesuatu yang sama sekali baru melainkan ‘menemukan kembali’ dan ‘merumuskan kembali’ tradisi sebagai data yang tersedia. Dalam memaknai panggilan dan pengutusan tersebut gereja patut menjaga kesinambungan hakekat keberadaannya yang tidak pernah berubah yakni sebagai alat Tuhan untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang besar. Melalui kesinambungan hakekat keberadaan gereja yang tidak berubah itulah konsistensi kabar sukacita dinyatakan.
Perjumpaan antara kepemimpinan gereja dan gereja menghasilkan suatu interaksi yang cair sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan secara harafiah.Interaksi ini memunculkan suatu pola kepemimpinan yang mampu membaca tanda-tanda jaman dan merumuskan kembali panggilan dan pengutusannya secara aktual dan holistik. Maksudnya ialah gereja yang berusaha untuk memenuhi makna panggilan dan pengutusannya disemua aspek dan lini kehidupan, patut menggumuli dan merefleksikan kehadirannya dalam terang firman Tuhan. Pada titik inilah diperlukan pola kepemimpinan yang aktual, berkualitas dan visioner. Sehingga keberadaan gereja senantiasa menjadi garam yang menggarami dunia dimana ia hadir dan menjadi terang yang menerangi dunia dimana ia berada.


BAB I
GEREJA DI INDONESIA DAN PERUBAHAN

Gereja di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi tantangan yang meningkat baik kualitas dan kuantitas, baik internal dan eksternal. Untuk itu patut dipahami terlebih dahulu apakah kualitas gereja sebagai persekutuan orang percaya. Menurut Eka Darmaputera, kualitas hidup orang percaya paling tidak meliputi 3 hal yakni :

1.memenuhi persyaratan yang diperlukan
2.dapat berfungsi dengan baik
3.berkualitas berarti tahan lama.

Salah satu perubahan mendasar yang kini dihadapi oleh gereja adalah perubahan dalam tatanan keluarga. Roh industrialisasi dan urbanisasi yang kuat telah juga menghadirkan perubahan dalam sistem nilai keluarga. Renggangnya hubungan antar manusia dalam keluarga yang mengalami keterasingan adalah cermin dari masyarakat. Pandangan masyarakat modern bahwa keluarga ideal adalah adalah keluarga yang mampu memasuki iklim kompetitif dengan ritus-ritus kesibukannya telah menempatkan gereja pada posisi yang menantang dan sangat strategis. Artinya ialah dalam fenomena masyarakat modern ini sesungguhnya diharapkan adanya peran gereja yang menjadi alat Tuhan menghadirkan berita sukacita ditengah-tengah meningkatnya kualitas frustrasi dalam keluarga.
Gereja yang aktual adalah gereja yang mampu menjawab kecenderungan dalam masyarakat dengan menumbuh kembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap warga gereja (keluarga).
Keluarga sebagai jemaat kecil adalah tempat menanamkan nilai secara intim, berpengaruh dan mendasar dalam mendidik kehadiran makna orisinil warga gereja dimasa depan. Menanggapi berbagai perubahan itu gereja perlu mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut :

1. menyerukan agar umat disemua tingkat kehidupannya menyadari masalah-masalah ini, merefleksikannya dan mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan , baik di tingkat jemaat maupun di tingkat sinodal.
2. memberdayakan setiap warga jemaat untuk dapat menjawab berbagai pergumulan hidupnya dalam terang kebenaran Firman Allah.
3. mewujudkan pola pembinaan yang berkesinambungan dan terarah agar dapat memperkaya setiap keluarga untuk mengalami pertumbuhan secara berkualitas.

Perubahan memang terus terjadi namun gereja yang mampu menanggapi perubahan adalah gereja yang memahami hakekat dan makna panggilan – pengutusannya. Dalam konteks berpikir yang demikian maka gereja patut meningkatkan perannya agar tidak hanya berpusat pada aspek transendental namun juga pada aspek imanen.

I. 1 Kepemimpinan gereja dan perubahan.

Dalam kondisi perubahan yang terjadi diberbagai aspek kehidupan dengan hadirnya nilai-nilai baru maka seorang pemimpin gereja patut memahami bahwa ada persoalan besar yang menantang. Artinya setiap pemimpin gereja patut memiliki ketajaman merefleksikan berbagai perubahan yang sedang dan akan terus terjadi yang mengkristal dalam tindakan nyata. Perubahan yang juga merambah kehidupan persekutuan umat percaya patut dipahami oleh setiap pemimpin sehingga gagasan-gagasan yang orisinil tentang panggilan dan pengutusan gereja senantiasa digumuli. Untuk itu aspek mendasar yang diperlukan dari setiap pemimpin gereja adalah :




a. Rasa Takjub ( sense of wonder )
Yesus sendiri yang memilih dan menetapkan seorang untuk melaksanakan tugas memimpin. Pengalaman panggilan pada Yosua ( Yosua 1 : 1 – 6 ), Yeremia ( Yer. 1 : 4 – 10 ) memperlihatkan bahwa panggilan itu disambut dengan rasa takjub sebab memahamai keterbatasan diri. Ciri ini akan mewarnai perilaku setiap pemimpin dalam gereja untuk menyadari bahwa ia bukan pejabat melainkan pelayan dengan kuasa dari Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Warna kepemimpinan yang demikian senantiasa mengedepankan kehendak Tuhan diatas kehendak diri sendiri. Rasa takjub ini akan menolong setiap pemimpin untuk menghayati keberadaannya dihadapan Allah dan sesama. Dalam konteks berpikir yang demikian maka seorang pemimpin akan terus menerus menyegarkan panggilannya sebagai alat Tuhan.

b. Memiliki visi – misi.

Seorang pemimpin dalam gereja patut menempatkan seluruh rangkaian kerja pelayanannya dalam perspektif rencana Allah. Untuk itu diperlukan suatu analisis yang jernih ( clear-eyed self analysis ) untuk memandang berbagai realitas yang terjadi di sekitar persekutuan. Dalam kearifan yang demikian maka seorang pemimpin gereja dimungkinkan mencermati berbagai persoalan yang ada serta mengedapkannya dalam visi – misi yang jelas. Faktor utama dalam hal ini ialah keberanian untuk bergerak dari ‘ comfort zone ‘ ke ‘ uncomfort zone ‘, sehingga gerak dari kepemimpinan yang demikian menimbulkan kreatifitas yang optimal. Maksudnya ialah gereja tidak cepat merasa puas diri dengan aktifitasnya namun terus menerus bersikap peka terhadap berbagai perubahan yang mengkristal dalam pelayanan berdasar visi-misi yang ada. Kejernihan untuk melihat fenomena ini bertolak dari takut akan Tuhan yang menimbulkan ketajaman hikmat dan kearifan (band. Amsal 9:10). Pemimpin yang tidak memiliki visi-misi akan mengalami kebuntuan sistematis yakni macetnya energi yang dapat dipergunakan secara optimal. Kebutuhan akan visi-misi menempatkan seorang pemimpin pada kesadaran bahwa ia tidak dapat menjangkau masa depan dengan kemampuannya sendiri tetapi senantiasa membangun relasi yang baik secara vertikal maupun horisontal.
Dalam konteks berpikir yang demikian maka keberadaan seorang pemimpin senantiasa berhadapan dengan realitas dan berupaya menjawabnya dalam terang Firman Tuhan. Kepemimpinan yang tanggap terhadap berbagai perubahan adalah kepemimpinan yang peka terhadap karya Allah dalam panggilan-pengutusan yang diembannya.
Visi-misi tidak hanya bersifat wacana tetapi merupakan hasil pergulatan batin terus menerus dari seorang pemimpin yang menghayati keberadaannya.


c. Kesadaran Ethis

Persoalan etika dalam kepemimpinan gereja merupakan persoalan mendasar di tengah-tengah kenyataan banyaknya pemimpin yang tidak memiliki etika dalam menjalankan kepemimpinannya. Persoalan ethis bukanlah persoalan bisa atau tidak bida tetapi persoalan benar atau tidak benar. Menurut Pdt. Eka kesadaran etis belum dapat disebut sebagai etika sebab etika adalah studi tentang norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia. Hanya ketika kesadaran ethis itu dimunculkan ke permukaan untuk dirumuskan secara eksplisit, dibahas secara sadar, dan disusun secara teratur pada waktu itulah kita berhadapan dengan etika. Kepemimpinan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai ethis adalah kebutuhan yang mendasar sebab tanpa nilai-nilai ethis maka kepemimpinan menjadi permisif. Bertolak dari pemahaman diatas maka perlu digumuli oleh setiap pimpinan gereja bahwa ia harus bertindak secara bertanggung jawab karena kehidupan demikian kompleks maka setiap pemimpin gereja patut dengan tajam dan hati-hati serta rendah hati mengambil keputusan-keptusan etis. Ini penting sebab tanpa pemahaman etis yang mempengaruhi sebuah keputusan maka seorang pemimpin gereja dapat terjebak dalam pola kepemimpinan yang tidak aktual, tidak konseptual dan bahkan mandul.
Bertolak dari pemikiran yang demikian maka gereja dapat menghadirkan citra sebagai persekutuan yang senantiasa mampu menjawab perubahan akan senantiasa mengacu kepada nilai-nilai Kristiani. Gereja yang berjumpa dengan berbagai perubahan memerlukan kesadaran dari pemimpin gereja untuk mengevaluasi kehadirannya.







Bab II
HUBUNGAN PASTORAL KONSELING DAN KEPEMIMPINAN GEREJA

Pada umumnya disepakati bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang melayani. Artinya kepemimpinan yang bertujuan untuk mendampingi orang / persekutuan dan menolong mereka menjalankan tugasnya. Dalam konteks yang demikian maka kepemimpinan gereja yang melaksanakan fungsinya senantiasa mengacu pada upaya pemberdayaan warga jemaat. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin gereja senantiasa dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang :
- Berakibat luas, antara lain bagi sifat relasi antara pimpinan dan anggota. Sifat otoriter membuat adanya jarak, sebaliknya koperatif mendekatkan jarak.
- Mempengaruhi pendirian pemimpin terhadap anggota, antara lain sifat otoriter akan menyukai anggota yang patuh ( asal bapak senang ) sebaliknya kooperatif akan menghargai perbedaan pendapat.
- Mempengaruhi sifat anggota, antara lain sifat otoriter tidak mau memahami dan menghargai gagasan anggota, sebaliknya kooperatif menghargai dan memahami setiap anggota sebagai subyek.

Bertolak dari hal-hal di atas maka sangatlah penting bagi seorang pemimpin membangun hubungan yang berlandaskan ketulusan dan kebenaran. Implikasi kepemimpinan yang demikian menempatkan setiap warga jemaat sebagai subyek dan bukan obyek. Karena itu salah satu alat bantu yang diperlukan adalah kemampuan pastoral konseling seorang pemimpin gereja.
Melalui alat bantu ini dimungkinkan bagi seorang pemimpin gereja memahami pergumulan dan persoalan warga gereja. Hal mana akan menolong setiap pemimpin gereja untuk mendampingi dan menopang warga gereja dalam upaya mereka mengambil keputusankeptusan penting dalam hidup mereka. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa fungsi sentral kepemimpinan gereja ialah memelihara kehidupan spiritual warga gereja supaya dekat pada identitasnya yang bertumpu pada pertanyaan, apakah gereja merupakan persekutuan dimana keterikatan dengan Tuhan dan satu sama lain sungguh-sungguh diwujudkan ? dan apakah gereja menyadari penugasannya dalam dunia ?.
Pertanyaan – pertanyaan inilah yang mendorong diangkatnya peran pastoral konseling dalam kepemimpinan gereja.

II. 1. Posisi Pastoral Konseling dalam Gereja.
Kehadiran konseling pastoral mengakar pada pemahaman bahwa Yesus mewujudkan kehadiran yang membebaskan ( Lukas 4 : 18 – 19 ). Dalam pembebasan dan penyembuhan Yesus Kristus memberi penegasan tentang kebenaran yang memerdekakan (bnd. Yoh. 8 : 32 ). Sebuah kebenaran yang dicapai dari setiap perjumpaan dengan Yesus Kristus telah memberi akibat-akibat yang konstruktif. Dalam konteks yang demikian maka hubungan yang diperbarui akan membawa perubahan-perubahan yang menyehatkan. Perubahan yang mereduksi berbagai distorsi dalam persekutuan maupun pribadi. Apa yang dilakukakan oleh Yesus Kristus menurut Clinebell adalah mendampngi secara mendalam namun tetap dengan memperhadapkan kejujuran kepada segala macam orang bahkan kepada mereka yang tersingkir.9 Hal ini tergambar kuat dalam peristiwa penampakkan-Nya kembali kepada Simon ( Mat. 16 : 18 ), dimana Simon mengalami perubahan fundamental sebagai Petrus yang berarti batu karang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar