Jumat, 04 November 2011

SANTOSA MANDIK : ANTARA BARAS DAN JAKARTA.

Tulisan ini untuk mengenang seorang pelayan Tuhan yang dalam kesahajaan mampu memperlihatkan pijar-pijar api semangat pelayanan di ruang GPIB. Saya mengenalnya sebagai sosok yang sederhana , sejak penulis melayani di pos pelayanan Baras. Periode Baras adalah periode pembentukan diri penulis melalui pengalaman unik dan membekas sebagai ruang untuk membangun kemampuan berteologi yang menukis pada 'tanah'. Dalam konteks ini saya berkesempatan untuk medampingi Pak Mandik yang kala itu seorang Sekretaris Majelis Sinode.
Pelembagaan Pos Pelayan Baras dimulai dengan perjalanan 'iman' karena jalan yang kala itu aduhai untuk mengantar maut. Perjalanan iman ini berhenti di Baras III. Perjalanan iman seorang Mandik yang bisa tertawa di tengah-tengah kesulitan. Pelembagaan GPIB jemaat Pelita Baras, dirancang dengan publisitas yang minim tetapi membanggakan. Ini luar biasa sebab untuk pertama kali seorang sekretaris majelis sinode GPIB masuk ke Baras.
Baras menjadi 'universitas terbuka untuk teologi kontekstual' yang melengkapi saya untuk 'menyeberang' ke jakarta.Perjumpaan dengan Pak Mandik tetapi terjadi sekalipun ia sudah berada di Amerika.
Saya masih berkutat dengan berbagai upaya melnegkapi diri ketika terdengar kabar Pak mandik sudah kembali ke Indonesia. Maka relasi yang sudah ada semakin intens bersma dengan Pdt. Tendean dan Pdt. Kastanya ( alm ). Kota dingin Lawang menjadi area percakapan antar pelayan yang sarat dengan idealisme. Pak Mandik mampu memberi semangat dalam bahasa sederhana ketika pergumulan pelayanan mebawa saya pada idealisme yang tidak bisa dikompromikan dengan militansi iman. Pada titik inilah Mandik mampu hadir membawa kesejukan tatkala bara kemarahan memuncak dalam dada.
Perjalanan percakapan masih berlanjut ketika Pak Mandik berada di GPIB Gloria, Bekasi. Saya menghubunginya pada tengah malam hanya untuk berdoa bersama-sama sebagai sebuah pengalaman rohani yang tidak sederhana.
Persahabatan dengan Pak Mandik semakin kuat ketika pada hari ulang tahun saya tahun 2009, kami berdua makan siang bersama di sebuah warung di Bogor. Ia berbicara tentang Persidangan Sinode dan saran kepada saya ' jangan terlalu berharap'. Percakapan di warung itu semakin mendekatkan kami ketika ia berdoa pada hari ulang tahun saya. Kami berdoa dalam keheningan sebuah warung di sudut kota Bogor. Perjalanan persahabatan kami terus berlanjut ketika bersama pendeta Tendean, kami bertiga 'ngopi' di city walk. Bahkan seminggu sebelumnya kita bersama memberi pembinaan di Bank Indonesia. Rupanya itulah saat-saat akhir perjumpaan kami.
...akhirnya ketika GPIB merayakan prosesi kehidupan pada Hari Ualng tahun ke 63 tanggal 31 Oktober, pada saat yang sama prosesi pemakaman sedang berlangsung untuk sahabat yang sangat dikasihi oleh Sahabat Sejati yakni Yesus. Digerbang Immanuel dua prosesi berjumpa, prosesi kehidupan dan prosesi kematian ...dan sekali lagi terbukti bahwa prosesi kehidupan lebih unggul dari prosesi kematian karena adanya Yesus sumber kehidupan, .....lalu Pak Mandik berjalan pelan menjumpai Sahabat Sejati , Yesus namanya.
Selamat Jalan Sahabat, pengalaman persahabatan ini memberi pelajaran berharga bahwa sahabat bukan karena posisi atau jabatan atau harta tetapi sahabat adalah soal hati yang menyatu dalam panggilan dan pengutusan untuk melayani Sahabat Sejati. ( kini airmata rasanya tidak cukup seorang Mandik sebab yang ia hadirkan adalah persahabatan sejati ) Thank You Sir...