Kamis, 21 Juli 2011

TERUNA GEREJA DAN GLOBALISASI


Pendahuluan.
Gereja yang berada di era globalisasi merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Era dimana situasi dunia semakin transparan dan sekat-sekat budaya semakin hilang serta membaur, melebur dan saling mempengaruhi. Sebagai persekutuan yang hidup maka gerejapun perlu mengantisipasi perubahan cepat sebagai implikasi dari globalisasi. Sebuah paradima baru dimana gereja menyadari bahwa konteks yang terus berubah memerlukan perubahan juga pada diri gereja. Perubahan itu nampak dari sikap gereja mengantisipasi era globalisasi dengan arif dan bijak. Maksudnya ialah tanpa kesadaran untuk membangun paradigma baru pemberitaan kabar sukacita, gereja akan kehilangan jatidirinya sebagai gereja yang hidup.
Hal ini berangkat dari pemikiran teologis bahwa Allah mengasihi dunia dengan kasih yang besar ( Yoh. 3 : 16 ). Dalam rangka itu maka setiap orang percaya terpanggil menjadi saksi kasih Allah yang besar itu. [1] Dunia ini adalah dunia yang bermasalah tetapi tetap dikasihi Allah sehingga gereja yang tidak menghayati kehadirannya di dunia adalah gereja yang kehilangan jatidirinya. Dengan berada dipusat dunai berarti didalam kedalaman dan ambil bagian dalam pergumulan-pergumulan dunia. Inilah geeja yang sadar konteks dan tetap konseptual dalam menjawab konteks.
Dalam kaitannya dengan Persekutuan Teruna maka perubahan sebagai akibat erat globalisasi memerlukan keberanian juga untuk berubah. Sebab dengan merubah paradigma pelayanan di Perekutuan Teruna maka kehadiran para teruna gereja senantiasa terbuka untuk memberi makna didalam perubahan yang terjadi. Gagasan teologis yang mendasarinya ialah bahwa panggilan dan pengutusan itu berlaku bagi setiap orang tidak terkeculai para teruna ( l Pet. 2 : 9 ). Melalui kesadaran inilah maka kehadiran para teruna maupun pelayanan Persekutuan Teruna senantiasa aktual dalam pemberitaan kabar keselamatan. Kesaksian inilah yang mendasari seluruh tugas para teruna.
A.Era Globalisasi sebagi realitas .
            Belum / tidak ada definisi yang baku tentang globalisasi kecuali sekedar definisi kerja ( working definition ) sehingga tergantung dari sudut pandang mana globaliasi hendak ditinjau. Namun ciri-ciri globalisasi dapat dikemukakan sebagai berikut :
  1. perubahan dalam konsep ruang dan waktu dimana tehnologi informasi menjadi primadona. ( HP, Internet dsb ).
  2. pengaruh MNC ( Multy Nasional Company ) semakin menguat dan berpengaruh terhadap kebudayaan.
  3. interaksi kultural melalui media massa. ( film, Musik, OR international dsb ).
Dengan adanya 3 ciri khas tersebut maka ke-dinamis-an masyarakat semakin tinggi sehingga menimbulkan gaya hidup global ( john naisbitt ). Gaya hidup ini semakin menguat dengan atribut ‘ekonomi’ dimana materi menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan. Gaya hidup global menghadirkan sikap permisif dan tidak bersikap kritis sehingga menumpulkan kesadaran adanya sebuah proses ( gejala instant, fast food dsb ).
Disisi lain komunikasi yang berlangsung dengan dukungan tehnologi telah menghadirkan komunikasi yang tidak manusiawi. Komunikasi dengan perangkat-peangkat tehnologi juga mengakibatkan adanya relasi yang kering ( SMS, Chating, facebook dsb ). Jika budaya di era globalisasi adalah budaya global dengan semua atributnya maka gerejapun perlu mengubah agendanya. Ada yang harus berubah dan terus berubah, tetapi ada pula yang tidak boleh pernah berubah yakni hakikat dan misi Gereja.[2] Ketika dunia mengalami perubahan maka gerejapun mengubah agendanya bukan untuk menyesuaikan diri dengan dunia tetapi agar hakekat dan misi gereja tetap relevan dengan berita injil yag tidak pernah berubah.
Misi gereja tidak berakhir dan bertumpu kepada gereja tetapi dunia karena gereja ditempatkan Tuhan bukan hanya di dunia tetapi untuk dunia.[3]


Dengan pandangan demikian maka era globalisasi perlu dimengerti secara secara proporsional sehingga gereja mampu tampil dengan perilaku yang menghadirkan kabar sukacita.[4] Bertolak dari pemahaman yang demikian maka peran gereja di tengah-tengah dunia senantiasa menjawab tantangan sekalipun hal itu tidak mudah.

B. Gereja dan Globalisasi.
Globalisasi dengan semua perangkat yang dimilikinya dianggap sebagai sesuatu yang besar. Bagaimana gereja menyikapinya ? apa yang dikemukakan dibawah ini dapat menjadi perhatian bersama :
  1. segi ekonomi.
-         meningkatnya kemampuan gereja untuk memperluas tanda-tanda Kerajaan Allah dalam melayani sesama.
-         Timbulnya sekularisasi dan komersialisasi hal-hal rohani ( Kis. 5 : 1 – 3 )
  1. tehnologi komunikasi.
-         dapat menggerakkan gereja-gereja untuk saling mendukung dalam pelayanan.
-         Komuikasi tanpa sentuhan personal melahirkan ‘orang berbicara melalui sms
  1. peran anak-anak.
-         anak-anak semakin mendapatkan peluang untuk semakin mengetahui perkembangan pengetahuan.
-         terjadinya ‘lost generation’ akibat dari pengaruh keduniawian.

Melalui ke-3 aspek ini saja dapat dikemukakan bahwa tugas gereja dalam hal ini persekutuan teruna bukanlah hal mudah. Sebab itu untuk menhadirkan gereja yang aktual beberapa hal ini perlu dikemukakan :
  1. pelayanan teruna yang pluralistis.
Melalui pelayanan ini hendak dibangun model pelayanan yang tidak seragam. Sangat tidak mungkin pelayanan disuatu jemaat dianggap sama dengan jemaat lain dank arena itu bisa diseragamkan.
  1. pelayanan teruna yang inovatif.
Melalui pelayanan ini maka setiap teruna diarahkan bukan hanya supaya aktif digereja tetapi menjadi teruna yang aktif didunianya. ( pendidikan, olah raga, kesenian dsb. )
  1. pelayanan teruna yang diperbarui.
Pelayanan yang baru bukan saja menghasilkan sesuatu yang baru tetapi mengidupkan atau memvitalisir apa yang lama dan telah hilang.

Dengan seluruh pemikiran diatas hendak dikemukakan bahwa pelayanan yang berlangsung memerlukan agenda baru yang lebih aktual dan konseptual.

C. Kesimpulan.
Melalui pemaparan diatas dapat dikemukakan bahwa kehadiran pelayanan teruna dewasa ini diperhadapkan dengan era yang sangat menantang. Dalam era yang demikian maka keberadaan teruna diarahkan untuk tidak hanya bersifat ‘kedalam’ tetapi ‘keluar’. Maksudnya ialah melalui pelayanan teruna yang kontekstual diharapkan dan konseptual maka para teruna tidak mengarah pada paradigma mapan yang hanya berorientasi pada kuantitas tanpa perhatian pada kualitas.
Teruna adalah masa depan gereja. Dan gereja dimasa depan adalah gereja yang berhadapan dengan perubahan. Sebab itu gereja senantiasa memperbarui agenda pelayanannya agar tidak menjadi tawar dan gelap ( lawan dari garam dan terang ).






[1] Pdt. Prof. E.G Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, h. 288
[2] Pdt. Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, h.460.
[3] Ibid, h. 461
[4] Istilah yang dikemukakan oleh Yesus adalah menjadi ‘garam dunia dan terang dunia’. Istilah yang memberi tekanan pada peran yang konstruktif. Mat. 5 : 13

Rabu, 20 Juli 2011

AKTA GEREJA. GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT ( GPIB )

Pendahuluan.

Kehadiran Gereja sebagai persekutuan orang percaya senantiasa diperhadapkan dengan berbagai kenyataan yang menantang. Hal ini berkaitan dengan keberadaan gereja yang eksistensinya tidak terlepas sebagai pembawa berita damai sejahtera. Dalam konteks yang demikian maka kehadiran gereja akan terus menerus diperhadapakan dengan realitas yang berubah. Maka identitas gereja tidak hanya diperlihatkan melalui aspek historis yang dimiliki tetapi identitas itu juga muncul melalui tanggapan gereja atas berbagai perubahan. Gereja yang kontekstual adalah gereja yang memahami permasalahan yang ada disekitarnya agar kehadiran gereja senantiasa relevan dengan tugas panggilan dan pengutusannya.
Bertolak dari gagasan yang demikian maka dalam konteks gereja ( baca : GPIB ) terdapat perubahan yang terus terjadi dengan berbagai akibatnya. Pada titik inilah diperlukan adanya suatu pijakan teologis yang memungkinkan gereja senantiasa menghadirkan identitasnya sebagai saksi-saksi Kristus.
Untuk itulah penulisan materi tentang akta gereja ini dikemukakan dengan menjelaskan apakah akta gereja dan perannya di tengah-tengah realitas yang berubah. Juga disampaikan kumpulan akta gereja sebagai hasil persidangan sinode yang masih berlaku di lingkungan GPIB.

AKTA DALAM KONTEKS GEREJA.

Istilah akta , menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti : surat tanda bukti berisi pernyataan / keterangan resmi, pengakuan, keputusan dan sebagainya yang dibuat menurut ketentuan yang berlaku dan disaksikan / disahkan oleh pejabat yang berwenang.[1] Berdasarkan paparan tersebut maka akta dalam konteks gereja ialah suatu pernyataan resmi Gereja yang merupakan pengakuan dan keputusan GPIB dalam kerangka memberi tanggapan terhadap berbagai persoalan kontemporer di tengah-tengah kehidupan bergereja dan berjemaat. Dalam ketetapan Persidangan Sinode GPIB ke XV tahun 1990 di Ujung Pandang bahkan dikemukakan bahwa Akta Gereja merupakan fatwa, petunjuk praktis mengenai masalah yang belum ditetapkan dalam peraturan gereja.[2] Akta gereja yang merupakan hasil telaah situasi beserta pembahasan teologis dimaksudkan untuk memberikan dasar-dasar dan pedoman penyelesaian. Karena itu tidak mustahil bahwa akta tidak diperlukan lagi atau dianggap terlalu jauh melihat kedepan dank arena itu dianggap kurang mengena dengan keadaan yang ada.[3] Karena itu patut dipahami adanya perbedaan yang mendasar antara Akta Gereja dan Tata Gereja. Kalau Tata Gereja lebih menekankan aspek kebijakan jangka panjang maka Akta gereja lebih menitik beratkan pada aspek yang bersifat aktual. Paling tidak dengan adanya akta gereja maka 3 hal telah dapat dipagari yakni :

1.      permasalahan yang dihadapi sepnajang sejarah perjalanan ber- GPIB.
2.      prinsip penyelesaian masalah sebagimana yang telah dilakukan oleh GPIB sepajang sejarah pelayanannya.
3.      petunjuk penyelesaian masalah sebagaimana yang dipandang baik oleh GPIB untuk seluruh jemaat.[4]
Hal-hal diatas adalah dalam kerangka menghayati kehadiran gereja yang senantiasa berinteraksi dengan dunia dimana ia hadir. Dengan berpikir demikian hendak diketengahkan tanggapan gereja atas kasih Allah yang diwujudkan secara bertangung jawab selaras dengan pemahaman iman gereja ( baca : gpib )


AKTA GEREJA HASIL PERSIDANGAN SINODE GPIB KE XVI
DI SEKESALAM, BANDUNG TAHUN 1995.
--------------------------------------------------------------------

* Pertunangan.
·           Masalah.
1.      yang dimaksud dengan pertunangan adalah suatu lembaga adat yang masih  
2.      berlangsung dalam masyarakat Indonesia dan kebiasaaan dimana HOCI masih berlaku, yang digunakan oleh gereja untuk meresmikan hubungan mereka , mendoakan , membina dan menggembalakan warganya  menuju pernikahan.
                  dalam wilayah pelayanan GPIB dimana kaidah-kaidah hukumadat masih   
                  berlangsung, pertunangan mengakibatkan perjanjian untuk menikah serta
                  pembatasan pergaulan antara kedua pihak yang bertunangan.
            3. pertunangan antara warga gereja dengan bukan warga gereja

·           Prinsip Penyelesaian.
            1. Pertunangan sebagai upacara harus diawali dengan percakapan penggembalaan.
                setelah upacara pertunangan yang bersangkutan harus mengikuti kateksasi
                khusus untuk pernikahan.

            2.Pernikahan baru dapat dilaksanakan setelah penggembalaan pernikahan
               dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan.
* Perceraian.
·           Masalah.
            1. bahwa Allah menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Diciptakannya laki-
                laki dan perempuan untuk menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
                sebab itu seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan  
                istrinya. Persekutuan antara suami dan istri ini adalah suatu rahasia yang besar
                yang mencerminkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya.

            2. Firman Allah menyatakan bahwa oleh dosa maka pernikahan manusia menghadapi kesukaran, kedukaan, pergumulan dan pencobaan. Namun demikian Kristus telah menempatkan pernikahan orang beriman dalam terang kasih karunia-Nya dan memberikan kepastian kebahagiaanserta keselamatan bagi mereka yang setia kepada-Nya. Alkitab juga menyaksikan bahwa oleh ketegaran hati manusia maka dasar-dasar nikah itu sering goncang dan mengalami kegagalan yang dapat mengakibatkan perceraian.

            3. beberapa motivasi yang melatar belakangi suatu perceraian :
3.1 motivasi yang berkaitan dengan latarbelakang serta maksud orang menikah :
a.       lasan materialistis.
b.       alasan suku / kawin paksa secara adat. 
c.       alasan prestasi.
d.      alasan menyelamatkan nama baik keluarga
e.       alasan kawin bisnis / kawin kontrak
f.        alasan kehamilan
g.       alasan pemuasan libido ( hawa nafsu ) sex.
h.      alasan akibat perjodohan orang tua
i.         alasan batas usia muda.


                        3.2 motivasi yang berkaitan dengan kenyataan yang muncul dalam pernikahan
a.       alasan ketidakpuasan seksual.
b.      alasan penyimpangan perilaku.
c.       alasan keterlibatan pihak ketiga. misalnya : orang tua, teman, kenalan.
d.      alasan ekonomi.
e.       alasan perangai ( ketakutan ).
f.       alasan penyimpangan perilaku seksual.
g.      alasan krisis identitas.
h.      alasan kurangnya penghargaan.
i.        alasan perbedaan agama.
j.        alasan tempat tinggal yang berjauhan.

·           Prinsip Penyelesaian.
                        1. secara prinsip GPIB menolak tegas perceraian.
                        2. krisis-krisis yang muncul dalam pernikahan harus ditangani lewat   
                            penggembalaan dengan melibatkan pula pihak-pihak lainnya ( psikolog,   
                            badan penasehat pernikahan ).
          bilamana perceraian tidak dapat dielakkan dan jalan satu-satunya untuk
          menghindari kegagalan bagi suami, istri dan anak-anak yang   
          bersangkutan maka gereja wajib mengadakan penggembalaan  khusus  
          kepada insan yang bersangkutan secara intensif

* Euthanasia
·           Masalah.
    1. Istilah Euthanasia berasal dari dua kata Yunani, EU ( baik, indah ) dan
THANATOS  (mati ) yang berarti ' mati baik ' atau ' mati indah ', didalamnya mengandung pengertian mati dengan tentram.
    1. Dalam perkembangannya Euthanasia digunakan terhadap kasus-kasus dimana seseorang yang sedang dalam sakratul maut dipertimbangkan untuk diakhiri perjalanan  hidupnya.
    2. Dalam kaitannya dengan dunia kedokteran, pengertian euthanasia lebih
ditekankan pada tindakan mengakhiri penderiataan pasien yang tidak disembuhkan secara medis dengan mengakhiri hidupnya.
    1. Dari segi hukum euthanasia adalah tindakan pembunuhan (KUHP pasal  
340, 344, 380). Namun demikian dari segi ekonomi euthanasia meringankan pembiayaan pasien   / keluarga pasien.
    1. Ditengah-tengah kenyataan ini tidak tertutup kemungkinan warga GPIB
mengalami hal  seperti ini, baik sebagai pasien, keluarga pasien ataupun dokter.

·           Prinsip Penyelesaian.
1.      tindakan euthanasia berkaitan erat dengan etik moral seorang dokter ataupun pasien /  keluarga pasien itu sendiri.
a.       dokter tidak mempunyai hak dengan maksud baik apapun , diminta ataupun tidak diminta untuk mengakhiri hidup seorang pasien yang sedang menderita, dokter terikat  sumpahnya. Tetapi dokter    tidak mempunyai hak dengan alat atau fasilitas apapun untuk
                  merangsang kehidupan sekalipun sudah dapat ditemukan secara  
                  medis bahwa seorang pasien akan segera berakhir hidupnya.

2.      Allah menghendaki kehidupan dan oleh karena itu euthanasia sebagai tindakan mengakhiri  penderitaan dengan mempercepat / memperkenankan berakhirnya hidup seseorang bertentangan dengan kehendak Allah. Tindakan ini hanyalah keinginan manusia, tetapi  bukan kehendak Allah. ( Roma 8 : 31 - 39 ).

* Homoseksual.

·           Masalah.
                       
1.      Pengertian : seseorang yang tertarik secara seksual kepada sesama jenis  seksnya. Bila itu terjadi  pada wanita disebut Lesbian.
2.      Masalah homoseks masih rumit dan masih disalah mengerti oleh   
sebagian jemaat / masyarakat. Hubungan seks antara seorang laki-laki yang mirip wanita dan seorang wanita yang bersifat laki-laki masih belum diterima sebagai homoseks, meskipun ada  beberapa diantaranya menunjukkan ciri-ciri demikian.
                        3. Gereja menggumuli masalah homoseks dalam ementukan sikapnya.
·           Prinsip Penyelesaian.
1.      Masalah homoseksual memerlukan penanganan yang arif dan tegas.
Gereja tetap  berpegang pada prinsip bahwa hubungans seks hanya dapat dibenarkan antara suami- istri dalam lembaga nikah yang sah. ( band. 1 Kor. 7 : 3 - 4, Ef. 5 : 22 - 33 ).
2.      Untuk penaganan homoseksual diperlukan pendekatan melalui
pembinaan yang  intensif dan penggembalaan.

* Abortus.

·           Masalah.
1.      Pengertian : pengangkatan bakal manusia dari rahim / kandungan
dengan campur tangan manusia yang mengakibatkan kematian.
2.      Dalam kenyataan bahwa pengguguran ada dalam kehidupan jemaat /
masyarakat dalam bentuk:
                                    a. keguguran.
                                    b. pengguguran langsung
                                    c. pengguguran yang bersifat Therapeutis.
                        3. gereja menggumuli masalah pengguguran dalam menentukan sikapnya.

·           Prinsip Penyelesaian.
1.      Dalam penanganan masalah keguguran, Gereja tetap berprinsip bahwa
baik hidup ataupun mati kita ini milik Tuhan. Namundalam realita gereja tetap menggumuli   masalah-masalah pengguguran,     oleh karena itu perlu diambil langkah-langkah /  tindakan baik bersifat pembinaan maupun  penggembalaan.

2.      Untuk mencegah terjadinya praktek pengguguran maka peranan
pembinaan warga jemaat di semua tingkat : keluarga , PA, PT, PT, GP, dan warga jemaat / masyarakat. Khususnya kasus-kasus yang bersifat dilematis perlu diadakan kosultasi dengan para ahli.




[1] Membina Untuk Bertumbuh Bagi Kemuliaan Allah, Majelis Sinode GPIB, 2002, h. 52.
[2] Hasil Persidangan Sinode GPIB ke XV, majelis Sinode GPIB, Jakarta, 1991, h. 78.
[3] Ibid.
[4] Membina , h. 55

Selasa, 19 Juli 2011

KERJA DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN.

Pendahuluan.
Allah adalah Allah yang bekerja merupakan sebuah pengakuan iman yang bertolak dari Firman Tuhan ( Kisah Penciptaan di kitab Kejadian ). Dengan pernyataan ini hendak dikemukakan bahwa antara yang transenden dan imanen tidak lagi ditempatkan secara terpisah tetapi menyatu. Kehadiran yang menyatu tersebut sejajar dengan 1 Petrus 2 : 9 yang menekankan muara dari penebuasan ialah memberitakan perbuatan – perbuatan Allah yang besar.
Sehingga Allah yang bekerja adalah Allah yang melakukan karya – Nya melalui manusia untuk mendatangkan damai sejahtera. Allah yang bekerja / berkarya melalui manusia tidak memperlihatkan keterbatasan Allah sebaliknya merupakan kasih karunia yang dialami oleh manusia.
Luther mengemukakan pandangannya dengan ungkapan tri ‘ sola ‘ yakni sola fide, sola gracia dan sola scriptura mengedepankan gagasan tentang terjadinya  gerak dari ‘surga ke bumi’ yang dilakukan oleh Allah. Didalam tindakan tersebut Ia mewujudkan cita – cita yang bersumber dari kerelaan hati – Nya untuk menyapa manusia. Sikap demikian akan memperkuat nilai perjumpaan yang mengkristal dalam relasi Allah – manusia dan manusia – Allah.
Iman ( Yun – pistis ) merupakan sebuah keputusan yang dibuat dalam kesadaran nurani untuk percaya dan mepercayakan diri. Melalui sikap yang demikian maka iman bukanlah suatu sikap diam tanpa makna yang berujung pada sikap premisif tetapi aktif yang berujung pada sikap kritis dan militan.
Jika demikian maka kerja dan iman Kristen merupakan kesatuan yang saling melengkapi sehingga kerja tidak lagi berlangsung mekanis dalam dingin dan beku serta iman yang permisif dan pasif. Keduanya bergerak secara pararel untuk memperlihatkan identitas pelaku kerja itu sendiri yakni manusia yang percaya dan mempercayakan diri kepada Allah yang bekerja.
a.     Kerja adalah gerak dari ruang privat ke ruang publik.
Ketika Yesus mengemukakan bahwa murid – Nya harus menjadi garam dunia dan terang dunia ( Matius 5 : 13 – 16 ) Ia sedang mengemukakan gagasan yang memiliki alur keluar dari eksklusivisme sektarian kearah inklusivisme komunal. Ketika kerja dipahami sebagai sarana ‘ kontemplasi yang bersifat mengosongkan diri ( kenosis ) maka kerja tidak sekedar aktifitas ritmis tetapi menyatunya manusia dengan Allah yang menjadi poros aktifitasnya.
Suasana demikian akan melahirkan gagasan bahwa kerja secara professional bergerak sejajar dengan pertumbuhan iman. Bahkan pada tingkat yang lebih seseorang memahami kerjanya sebagai ibadah ( memiliki arti yang sama dengan abudah yakni kerja ). Pemahaman ini akan menempatkan Yesus Kristus tidak saja pada ruang wacana tetapi ruang karya yang membuka cakrawala berpikir dalam kekuasaan kasih.
b.    Kerja adalah ‘ admiranda et Amanda ‘
Dunia kerja adalah bagian dari Kerajaan Allah. Dunia kerja adalah wilayah yang menyita sebagian besar waktu produktif manusia–orang Kristen termasuk. Itu berarti dunia kerja adalah bidang kontak yang penting bagi perluasan Kerajaan Allah. Rata-rata manusia menghabiskan 88 ribu jam hidupnya bekerja, sejak mulai bekerja hingga pensiun. Oleh karena itu dunia kerja adalah wilayah yang sangat penting. Dengan selalu mengingat hakikat Allah Sang Pekerja, jelaslah Allah sangat tertarik pada pekerjaan kita, bahkan mengandalkan pekerjaan kita untuk mencapai tujuanNya. Ia hadir dan memberkati kita pada saat kita bekerja di ruang kerja kita. Dan Allah memahami kemungkinan munculnya rasa kecewa dan frustrasi dalam bekerja sehingga Allah Sang Pekerja Agung itu datang membantu dan memberdayakan kita anak-anakNya menjadi pemenang.
Dalam dunia kerja yang demikian maka setiap murid – orang Kristen mewujudkan sifat admiranda – kebanggaan dan Amanda – dicintai. Ini berarti di ruang kerjanya ia menghadirkan damai sejahtera yang bersentuhan dengan manusia lain tanpa batasan.
c.     Sense Of Wonder .
Nuh disebut dalam kitab suci sebagai pribadi yang ‘ bergaul dengan Allah ‘ yang dalam KJV dikemukakan dengan ungkapan – he walked with God. Rasa takjub dimiliki oleh murid / orang Kristen ketika ia mau berjalan bersama Allah. Rasa takjub yang bertolak dari kesadara bahwa manusia diposisikan sebagai partner Allah untuk meneruskan Injil – eungelion – kabar sukacita yang sangat dipengaruhi oleh kerja.
Rasa takjub yang muncul dari keyakinan bahwa Allah menjangkau manusia melalui Yesus Kristus dalam sikap-Nya yang egaliter ( band. Lukas 24 : 36 , Fil. 2 : 1 – 11 ). Rasa takjub ini memberi ruang yang luas untuk terus berperan menyatakan kesaksian yang kongkrit di ruang ibadah aktual yakni dunia kerja. Karl Rahner – sebagaimana dikutip Romo Mudji – mengemukakan bahwa kelenturan dan keterbukaan nurani estetis religious manusia yang mudah terharu, tersapa dan mengolah hidup yang dinamis siap untuk terus rendah hati dalam relasi dengan Allah dan menjadi pendengar sabda yang aktif. Dititik inilah iman sebagai tanggapan atas semua karya Allah yang berinisiatif menjumpai manusia.
d.    Kesimpulan.
Jika iman dihayati sebagai tanggapan manusia atas karya Allah, maka tanggapan iman adalah tanggapan dalam karya. Sebuah karya yang bertolak dari rasa takjub dan bermuara pada kebanggaan bahwa diposisikan sebagai kawan sekerja Allah.
Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati merupakan peringatan yang tetap relevan dengan kehidupan masa kini.

VITALISASI PELAYANAN DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN JEMAAT

Pendahuluan

Gereja  adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya ( I Pet. 2 : 9 ). Persekutuan ini kemudian disebut sebagai persekutuan yang kudus karena dikuduskan oleh Allah sendiri. Karenanya persekutuan yang ada, terbentuk bukan karena hasil dari manusia yang bersekutu tetapi oleh karena Allah yang mempersekutukan mereka ( Yoh 17 : 21 ). Ke-kudus-an persekutuan bertolak dari Allah yang kudus, sehingga ke-kudus-an gereja bukanlah suatu pilihan tetapi perintah dan keharusan. Gereja yang kudus dan ke-kudus-an gereja adalah dua hal yang telah melebur menjadi satu dan tidak terpisahkan.
Dalam pokok di atas hendak dikemukakan bahwa keberadaan gereja dengan Yesus sebagai Kepala Gereja senantiasa mengarah untuk menjadi saluran berkat yakni memiliki sikap murah hati seperti Allah bermurah hati tanpa membedakan orang ( band. Luk. 6 : 36). Hal ini menandakan kehadiran gereja sebagai persekutuan yang melayani dan bersaksi dalam kemurahan hati yang memanusiakan manusia. Pelayanan dan kesaksian yang tertuju dan terarah kepada kemuliaan Yesus dan memerdekakan sesama. Sehingga pelayanan dan kesaksian gereja merupakan perwujudan rencana karya Allah bagi dunia dan patut diterima dengan ucapan syukur
Pada sisi lain persekutuan yang adalah karya Allah memiliki gaya hidup yang sama yakni mengekspresikan keselamatan yang telah diperolehnya dalam berbagai bentuk. Persekutuan (koinonia) bukanlah persekutuan yang sama dengan dunia sebab persekutuan orang percaya memiliki tujuan untuk memberitakan karya Allah yang besar dan bukan memberitakan dirinya sendiri.(bnd. Gal. 2 : 9 ). Dalam upaya mewujudkan karya Allah tersebut setiap warga jemaat dilengkapi dengan karunia-karunia yang berbeda. Dalam keberbagaian karunia itulah setiap warga jemaat dipadukan menjadi persekutuan yang dinamis.
Dewasa ini persekutuan orang percaya diperhadapkan dengan tantangan yang tidak mudah. Roh-roh dunia yang melanda dengan sifat:
1.      konsumerisme
2.      egoisme
3.      individualisme
menjadi batu uji yang tangguh bagi persekutuan umat Tuhan. Kekuatan dari roh-roh dunia menyebabkan kita harus terus menerus belajar tentang Kristus (Ef. 4 : 20).
Persekutuan yang terus menerus belajar akan menjadi persekutuan yang mengakar dan bertumbuh. Pertumbuhan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hakekat persekutuan yang mengarah kepada Yesus Kristus ( Ef. 2 ; 13 ). Persekutuan yang di dalamnya Yesus hadir menurut Paulus adalah persekutuan yang diikat menjadi satu oleh pelayanan (dari tiap-tiap anggotanya) yang mengerti kehendak Tuhan ( Ef. 4:16, 5: 17). Dengan demikian persekutuan orang percaya menjadi persekutuan yang berarti, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam hubungannya dengan sesama.

A.        FAKTOR – FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN UNTUK MEMBANGUN PELAYANAN YANG VITAL


I.                   “Rubber Neck”


Salah satu kemacetan dalam pertumbuhan dan berbuah adalah ketika persekutuan itu hanya melihat ‘kesamping’ dan tidak melihat ‘kedepan’. Persekutuan yang mengalami penyimpangan cara pandang senantiasa mengakibatkan tujuan perseketuan menjadi kabur dan tidak maksimal.
Tujuan persekutuan yang Yesus kehendaki adalah persekutuan yang mengarah kepada Kerajaan kekal ( II Petrus 1 :11, I Yoh 2: 28).
Tujuan persekutuan yang jelas ini akan menempatkan persekutuan pada perubahan yang berarti dan terarah. Sehingga kita tidak terjebak dalam arus kemacetan pertumbuhan iman, tetapi memiliki pola perubahan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain.
Dari penjelasan di atas nampak bahwa persekutuan di dalam Yesus memiliki ciri khas sebagai berikut:
a.       Subyek yang mempersekutukan adalah Yesus Kristus
b.      Jemaat yang mengalami pembaruan. (2 Kor. 5 : 17, Gal. 6 : 15, Ef. 2 : 10).
c.       Jemaat yang menjadi kawan sekerja Allah.


II.                 “ WTC ”

 Dalam konteks kita sebagai persekutuan yang hidup di tengah realitas yang menantang maka teori ini berarti

W  isdom              à  kebijaksanaan   ( Pengkh. 7 :  11)
                            
T   alented            à  talenta  ( Ef. 6 : 10 )
                                  
C   ompatible       à  sesuai, cocok  ( Mat. 25 : 21 ).

Terintegrasinya hal diatas dengan Yesus Krsitus berarti bahwa ada hubungan yang dekat dengan Tuhan dan bekerja sama . ( bnd. Yoh 15 : 4 – 8 )

III.“ merayakan, belajar, melayani “. 

                                                                                                                                                                                                                 

Pertanyaan utama yang harus dikemukakan ialah tujuan dari pelayanan. Sebab tanpa tujuan yang terarah maka pelayanan akan kehilangan ‘energi ‘. Tujuan dapat menjadi kekuatan yang menarik seseorang untuk terus mengara kemasa depan. Dalam konteks gereja tujuan itu ditentukan oleh Yesus ( Ef. 4 13 ) sehingga pelayanan yang dilaksanakan memiliki ttujuan yang jelas dari ‘ gereja yang aktual ‘ menjadi ‘ gereja yang ideal ‘. Dalam gerak yang demikian maka gereja menjadi gereja yang militan sebab:

1.      merayakan – menemukan kembali makna relasi dengan Allah dan melestarikannya.
2.      belajar        - memandang perbuatan hidup sehari hari dalam terang kehendak Tuhan.
3.      melayani    - bertndak sesuai dengan yang dialami dan pelajari

 

Dengan faktor – faktor diatas  hendak dikemukakan bahwa suatu persekutuan yang sifatnya aktual merupakan salah satu upaya membangun persekutuan yang berarti bagi kemuliaan Yesus Kristus. Sebab persekutuan  yang aktual adalah persekutuan yang sadar akan konteks dan merasa gelisah
Pertemuan semua faktor di atas akan nampak dalam pelayanan, perayaan, pengajaran, pembagian. Karena kita semua patut mewaspadai sistem yang sedang dibangun oleh iblis untuk menggagalkan pelayanan dan kesaksian kita sebagai persekutuan yang hidup dan berbuah.
Jemaat yang bertumbuh dan berbuah adalah arah dari sebuah persekutuan secara:
1. Kuantitatif        = pergi, baptis, dan ajarkan (mat.28:19 –20) band. Kis. 1 : 15 dan 
                                  4:4, 6:7.
2.Kualitatif            =  mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar (Ef. 4 :13)

Pelayanan sebagai bagian dari keterkaitan semua anggota tubuh dengan Yesus sebagai kepala merupakan pelayanan yang terjalin dengan tujuan yang jelas yakni berbuah (Yoh 15 : 4 – 6). Berbuah secara kuantitatif maupun kualitatif adalah dua hal yang tidak terpisahkan.


Pelayanan yang demikian akan mewaspadai beberapa bahaya:

1.   Kesombongan      2. Merasa berjasa    3. Menjadi pusat pelayanan

B. KESIMPULAN


            Vitalisasi bentuk pelayanan merupakan kebutuhan yang aktual dalam hubungannya dengan pembangunan jemaat. Melalui hal yang demikian maka kehadiran setiap pelayan dalam hubungannya dengan warga jemaat bukanlah hubungan subyek – obyek tetapi sebagai subyek – subyek. ( band. Ef. 4 : 12 )
            Disisi lain perlu dikemukakan bahwa keberadaan setiap pelayan tidak terlepas dari hubungannya secara rangkap. ( vertikal , horisontal ). Dalam perspektif yang demkian maka persekutuan yang hadir, hadir dalam pergumulan secara vertikal maupun horisontal untuk menjadi alat Tuhan yang berarti dan bermakna dalam pelayanan maupun kesaksian.
            Dalam konteks Pelayanan diperlukan kemauan untuk tetap sensitif dengan perubahan jaman. Artinya para pelayan harus sentiasa memberi keseimbangan yang dibutuhkan oleh para murid. Hal ini bertolak dari pemahaman bahwa pelayanan kepada para warga jemaat adalah pelayanan dalam dialog dan bukan monolog. Sehingga pengalaman hidup sang warag jemaat dapat diberi makna iman yang memungkinkan seluruh rangkaian pelajaran berlangsung dengan kreatif dan  mengena.

===============================
Pdt. Alex Letlora

Sumber-sumber

Jan Hendriks,      jemaat vital dan menarik
van Hooijdonk,    batu – batu yang hidup
Mc Grath,            christian teology
Rick warren         pertumbuhan gereja masa kini

GEREJA YANG MELAYANI DAN BERSAKSI DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN JEMAAT

Istilah Gereja yang dikemukakan disini bukanlah gereja secara institusi melainkan sebagai suatu organisme yang terus mengalami perubahan selaras dengan konteks dimana gereja itu sendiri hadir. Sebagai persekutuan orang percaya yang dipanggil dari gelap kepada terang-Nya yang ajaib maka misi gereja sangatlah jelas yakni : MEMBERITAKAN PERBUATAN-PERBUATAN ALLAH YANG BESAR ( I Petrus 2 : 9 ) Dalam kaitannya dengan tugas tersebut maka sosok gereja bukanlah persekutuan yang bersifat imajinasi melainkan persekutuan yang bersifat kongkrit. Sifat ini menempatkan gereja pada tataran konteks dimana gereja itu hadir dan berkarya. Jika misi gereja adalah memberitakan perbuatan Allah yang besar maka wilayah perwujudannya sering disebut dengan tri-tugas gereja yakni :

1. koinonia            = persekutuan
2. diakonia            = pelayanan
3. marturia            = kesaksian

Dalam konteks di atas maka perwujudan kehadiran gereja senantiasa berorientasi  kepada missi Allah    (missio Dei ) yakni menyatakan kehadiran tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi. Kehadiran ini menempatkan gereja sebagai persekutuan yang melayani dan bersaksi. Melalui pelayanan dan kesaksiannya gereja berfungsi (fungsional ) sebagai saluran berkat bagi dunia untuk memprolamasikan  dan mendemonstrasikan hidup yang kudus dan benar. Hakekat inilah yang memungkinkan gereja menyatakan bahwa gereja diutus kedalam dunia, berada di dalam dunia, dan melayani untuk dunia.
                Dengan demikian nyatalah bahwa keberadaan gereja atau persekutuan orang percaya bukanlah kebetulan namun menjadi bagian penting dari rencana Agung Allah untuk menyatakan kasih-Nya kepada dunia. Untuk itulah makna sebagai terang dan garam dunia ( bnd. Mat. 5 : 13 – 16 ) direalisasikan.
Bertolak dari penjelasan diatas maka tantangan yang dihadapi oleh gereja terus berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas. Kecenderungan dunia yang memposisikan kepentingan individual dan kepentingan ekonomi yang bersifat eksklusif merupakan tantangan bagi gereja.
Hubungan yang terus menerus antara gereja dan Yesus sebagai Kepala merupakan keharusan agar gereja tidak kehilangan arah dalam perjalanan missinya. Gereja dipanggil untuk mengembangkan dan memelihara kehidupan demi kesejahteraan semua orang ( Kej. 2 : 15 ; Kej. 12 : 3 bnd. Kej. 45 : 5 ; 50: 20; Gal. 6 : 10).
A. GEREJA YANG MELAYANI
Wujud pelayanan gereja memiliki ciri khas yang membedakan gereja dari pelayanan yang bersifat ‘duniawi’ merupakan nilai teologis yang sangat penting. Adapun ciri khas tersebut adalah :
1.       pelayanan gereja bersifat nirlaba, tidak mencari keuntungan tertentu. Sebab bukankah gereja dibentuk oleh Roh kudus ( peristiwa Pentakosta ).
2.       pelayanan gereja mengacu kepada pelayanan Yesus Kristus sebagai teladan yang telah merendahkan diri untuk menjadi sama dengan manusia (bnd. Fil. 2 : 1 – 11, Luk. 22 : 27)
3.       pelayanan gereja mengarah kepada kedatangan Yesus Kristus (parousia)
4.       pelayanan gereja tidak bersifat individual tetapi kolektif  ( 2 Kor. 1 : 24 ) sunergio- kawan-kawan sekerja
5.       pelayanan gereja memiliki sifat fungsional dan sekaligus imperatif (perintah) sehingga tidak berdasarkan kehendak sendiri. (Yoh. 20 : 21 )
Bertolak dari ciri khas di atas maka pelayanan yang diberlakukakan oleh gereja setiap kali harus mengalami revitalisasi agar perhatian gereja tidak memudar dan kehilangan orientasi.
Menghadapi kenyataan yang diliputi oleh pengaruh sosial, politik dan budaya maka gereja harus menyatakan nilai-nilai panggilan dan pengutusan yang tidak terlepas dari diri gereja . Kendala yang dihadapi oleh gereja pada dasarnya adalah kertebukaan gereja mengadopsi nilai-nilai dunia yang sarat dengan kepentingan. Melayani bukanlah aktifitas yang mereduksi panggilan Yesus Kristus terhadap umat. Sebab melayani adalah aktifitas yang menghasilkan pergumulan rangkap dari mereka yang dilayani. Artinya dengan pelayanan yang dilangsungkan maka warga jemaat tidak dijadikan obyek tetapi menjadi subyek (band. Ef. 4 : 12, Roma 8 : 28) yang menggumuli hubungannya dengan Yesus Kristus (vertikal) dan sekaligus yang menggumuli hubungannya dengan sesama (horisontal). Dengan demikian melayani lalu menjadi  memberdayakan warga jemaat sehingga secara kolektif menjadi jemaat yang melanjutkan pelayanan.
Pelayanan yang demikian adalah pelayanan yang mereposisi keberadaan warga jemaat kearah yang Injil kehendaki (band. Kol. 3 : 9-10). Sebuah tranformasi perilaku yang menempatkan setiap pelayan maupun pelayanan serta yang dilayani berada pada posisi aktual dan dinamis sebagai ‘lentera perdamaian’ (mengutip ucapan PM Malaysia di S Pembaruan 4 – 8 - 2004, A. Badawi dalam konprensi WCC di Kuala Lumpur, 3 Agustus 2004 ). Yakni sebuah bentuk pelayanan yang menembus berbagai perbedaan, pelayanan yang melewati batas golongan sendiri (Pdt. E. G Singgih, Reformasi dan Transformasi pelayanan Gereja, h. 20).
Dengan demikian maka pelayanan yang hendak dilaksanakan merupakan respon setiap warga jemaat atas kasih karunia Tuhan Yesus Kristus (yang prinsipnya adalah memberdayakan) dan respon itu diwujudkan baik dengan akal maupun dengan nurani. Pelayanan yang tidak mengabaikan realita dan mengarah ke masa depan.

               
B. Gereja yang bersaksi.
Dalam Kis. 1 : 8 dikemukakan bahwa “...... kamu akan menjadi saksi-Ku.......”. Menjadi sakasi bagi Kristus adalah persoalan yang jauh lebih pelik dari menjadi saksi dalam pengadilan. Sebab yang diperlukan bukan hanya kata-kata melainkan gaya hidup ( the way of life ). Gereja yang bersaksi adalah gereja yang memperlihatkan gaya hidup yang berbeda dari dunia. Karena itu sifat kesaksian adalah KOMPATIBEL ( compatible = cocok, bisa berada bersama ). Suasana ini diwarnai dengan sikap saling menghargai, tidak iri hati, mampu bekerja sama. Dalam Maz. 27 : 4 kata kuingini dan menikmati adalah jiwa yang kompatibel. Dalam hubungannya dengan gereja, Yesus menyatakan sikap-Nya yang kompatibel dalam Yoh 15 : 1- 8, 14 , 15.
Beberapa ciri kesaksian gereja adalah :
1.       bersikap sebagai murid yang mau terus menerus belajar (bnd. Yak. 2 : 19, Mat. 6 : 10, 7 : 21, 24 dan 21 : 31 )
2.       bersifat dialogis ( saling terbuka untuk pihak lain )
3.       mampu menembus berbagai perbedaan ( Roma  2: 10 – 11, Mat. 28 : 18 – 20 )
4.       memiliki sifat memberdayakan pihak lain ( 2 Kor. 3 : 2 – 3 ).
Berdasarkan ciri khas ini maka kesaksian umat Tuhan bukan hanya pada ruang dan waktu tertentu saja, tetapi disetiap peluang bahkan setiap aktifitas adalah medan kesaksian. Situasi baru ini tidak bisa dihindari (lih. Reaksi Paulus di I Kor. 9 : 16), sebab pemberian situasi baru sebagai saksi bukanlah suatu perintah atau permintaan tetapi suatu pemberitahuan tentang apa yang akan dihadapi: ‘.....kamu akan menjadi saksi-Ku’ ( Kis. 1 : 18; bentuk kalimat futurum). Sehingga menjadi saksi bukan hanya sebagai komunikator atau pelapor tetapi hakekat persekutuan umat itu sendiri adalah saksi. Jemaat yang bersaksi adalah jemaat yang bersuara walaupun tanpa suara artinya kehadiran jemaat senantiasa menampakkan isi kesaksian yakni Yesus Kristus yang sudah mati dan bangkit. Yesus yang menderita karena kasih-Nya kepada manusia. Isi kesaksian ini diterjemahkan dalam lakon setiap warga jemaat sehingga iman tidak terpisah dari perbuatan, iman nampak dari perbuatan atau melalui perbuatan ( yak. 2 : 18 )
Bertolak dari pandangan diatas maka jemaat yang bersaksi adalah jemaat yang terus menyuarakan imannya sekalipun tanpa suara yang bermuara pada kemuliaan Yesus Kristus.
C. Hubungan Pelayanan dan Kesaksian dengan Pembangunan Jemaat
Pelayanan dan kesaksian memiliki hubungan yang erat dengan Pembangunan Jemaat. Sebab melalui pelayanan dan kesaksian tersebut pembangunan jemaat menjadi nyata dalam hal kuantitas maupun kualitas. Jemaat yang bertumbuh dan berbuah ( Yoh. 15 : 4 ) merupakan jemaat yang melayani dan bersaksi secara kongkrit. Untuk itu 5 aspek dasar pembangunan jemaat perlu diperhatikan yakni :
1.       bertindak dengan iman dan rasional ( ef. 5 : 15 – 16 )
2.       bertindak fungsional, terarah pada tujuan dan hasil (Ef. 3 : 10 )
3.       bertindak menurut tata waktu ( proses ) ban. Kol. 3 : 9 – 10
4.       bertindak menurut tata ruang ( organisasi )
5.       mengaktifkan partisipasi ( empowerment ) ban. I Kor. 12 : 27

Pelaksanaan Pembangunan jemaat tidaklah bertolak dari satu-satunya asumsi bahwa jemaat akan bertumbuh dengan sendirinya. Bagaimanapun juga diperlukan kiat-kiat yang aktual dalam penyelenggaraan pembangunan jemaat. Pokok Pembangunan Jemaat adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam penatalayanan yang fungsional serta aktual. Gereja atau jemaat berada pada tataran yang sangat menantang dewasa ini. Issue persamaan gender dan berkembangnya IPTEK serta akibat-akibatnya merupakan realita yang tidak terbantahkan. Pada kondisi yang demikian maka jemaat ditetapkan oleh Yesus Kristus sebagai pembawa kabar sukacita di tengah-tengah terjadinya dehumanisasi.
Bertolak dari pokok pikiran di atas maka pelayanan dan kesaksian gereja senantiasa berada pada koridor memanusiakan manusia. Pada titik inilah pembangunan jemaat diwujudkan sebagai jawaban atas karunia Tuhan. Jan Hendriks mengungkapkan faktor-faktor yang hendak dituju atau dicapai, misalnya :
1.                          relasi jemaat dengan Allah diperdalam sehingga mereka dengan kepercayaan, kegembiraan dan rasa syukur semakin menghayati hidup mereka. (merayakan)
2.                          mereka semakin belajar melihat diri sendiri serta kelompok atau lingkungan dimana mereka hidup (seperti keluarga, gereja, perusahaan, masyarakat) dalam hubungannya dengan Yesus Kristus. (belajar)
3.                          mereka secara individual dan bersama merencanakan hidupnya dihadapan Tuhan dan semakin menyesuaikan hidupnya dengan rencana itu. (melayani)
Untuk itulah diperlukan partisipasi yang bertolak dari pemberdayaan warga jemaat (vitalisasi)  yang menurut van Nijen terdiri atas 3 gradasi yakni : a. Hadir, b. Ikut dalam proses interaksi dan komunikasi, c. Ikut memvitalkan keseluruhan. Dengan demikian maka kita jumpai warga jemaat yang berperan sebagai:, jemaat, peserta dan kooperator.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa pelaku Pembangunan Jemaat adalah
1.       Yesus Kristus
2.       Presbiter
3.       Warga jemaat
Terintegrasinya semua elemen ini akan menempatkan gereja sebagai sebuah persekutuan yang melayani dan bersaksi bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi bagi Kristus. Untuk itu diperlukan 3 hal utama yakni:
                Brave                     = keberanian untuk menyatakan Injil
                Brain                      = kemauan untuk terus menerus belajar tentang Firman
                Behaviour             = perilaku yang menopang pelayanan dan kesaksian

YESUS KRISTUS KEPALA GEREJA MEMBERKATI PERSEKUTUAN ANDA